Bismillahirrahmanirrahim .......
Riya (bagian 2)
Kadang-kadang kita ingin terlihat oleh orang yang tidak kita kenal. Misalnya di masjid, kita datang sendiri. Ketemu banyak orang di sana. Lalu, sesuai dengan pesan yang pernah kita dengar dari syaikh, "Perbanyak shalat sunah, atau sunah rawatib," kita lantas shalat. Tetapi, shalat itu kita perindah, dipercantik oleh kita, dengan harapan kita dilihat orang lain. Saat itu, hati kita sudah menyeleweng, karena kita ingin dipuji orang di masjid, betapa indah shalat kita. Padahal, belum tentu orang di masjid perduli, karena masjid memang tempat shalat. Hati kita sudah menyeleweng, itu riya juga. Maka obatnya adalah, "Mengapa kita harus memper-dulikan makhkluk itu?" Shalat kita adalah urusan kita dengan Allah SWT. Tidak ada urusan makhluk untuk memuji atau mencaci kita, karena caci maki makhluk, maupun pujian mereka, "hanyalah sebuah suara saja di alam semesta." Kadang-kadang, mungkin karena kebodohan makhluk itu, dia memuji kita, padahal kita orang bejat di atas bumi ini. Sebaliknya, kita harus ridha kalau ada orang mencaci, karena kita pantas dicaci maki, karena kerendahan maqam kita, karena ketidak-mengertian kita, karena memang kita hina. Jadi, kalau ada orang yang mencaci maki kita, mengapa harus bangkit kemarahan kita?
Sekarang coba perhatikan jenis-jenis riya yang lahiriah, yang mudah saja. Seseorang yang riya, misalnya, sudah barang tentu dia sangat terkait erat dengan dunia. Itu dulu yang harus kita perhatikan. Dia juga sangat membanggakan dunia, dan sangat kagum terhadap isi dunia, termasuk kagum kepada dirinya sendiri. Bila seseorang riya pada badannya sendiri, ketika pergi ke luar rumah, hatinya me-ronta-ronta ingin memperlihatkan kepada orang Iain kalau dia adalah si tampan. Kalau perempuan, dia ingin bilang dirinya sebagai si cantik. Itu sebuah rasa saja. Cara jalan orang itu diperindah, dengan harapan orang yang melihat dia tahu bahwa dia lebih dari yang lain. Padahal orang lain belum tentu melihat dia seperti itu. Itulah riya yang berhubungan dengan badaniah.
Lalu yang kedua, yang masih ada di dalam tubuh seseorang, yakni pakaian. Bila dia mengenakan sesuatu, hatinya lalu menyeleweng, ingin mengabar-kan, berbicara, "Hai makhluk yang bertemu dengan aku, engkau perhatikan, aku pakai baju baru dan model terbaru. Perhatikan, aku pakai sesuatu yang tidak dipakai orang lain. Aku pemakai pertama kali yang orang lain belum pernah pakai." Perasaan ini banyak hinggap di dalam hati ibu-ibu. Tetapi tidak sedikit juga yang ada di dalam hati bapak-bapak. Orang yang seperti itu, bila memakai sesuatu yang bermerek bagus, dia merasa bangga. Dia bukan ber-bicara tentang kualitasnya yang bagus, yang akan terpakai lama sekali, bertahun-tahun. Seseorang memang boleh membeli barang seperti itu, yang berharga mahal. Tetapi, bila hatinya menyeleweng dan berbangga atas harga barang, pakaian, ketampanan, kecantikan, bentuk rambut, atau apa pun, itu adalah riya. "Riya akan menghapus berbagai macam celengan amal-amal kita." Amal menjadi gugur karena pameran lahiriah dan badaniah. Kalau begitu, mengapa kita tidak merendah saja?
Ada lagi orang yang suka pamer tentang pangkat-pangkat. Itu lebih jelek lagi, lebih parah dari yang biasa. Tanda-tanda orang mencintai pangkat, gelar, sebutan-sebutan, adalah bila disebut namanya tanpa disebut pangkat atau gelarnya, hatinya tersinggung. Bahkan ada yang sampai menulis surat pun, rasanya kurang lengkap kalau dia tidak mencantumkan gelar yang dibanggakannya itu. Padahal, yang membaca surat seperti itu mungkin merasa sebal.
Semua itu adalah perasaan-perasaan. Semuanya adalah kebanggaan semu. Semuanya adalah keinginan diketahui sesama makhluk, agar dirinya merasa lebih tinggi dari makhluk lawan bicaranya. "Itulah sebuah kekurangajaran di hadapan Allah SWT karena dia ingin dipuji makhluk, melupakan Allah SWT dan tidak berharap dipuji Allah SWT dengan banyak memuji-Nya." Maka kepada golongan ini, nabi bersabda, "Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada riya sezarrah saja." Sedikit riya, sedebu riya, seseorang tidak bisa masuk surga. Betapa riya ini dalam kitab-kitab disebut sebagai racun yang amat berbahaya.
Adakah riya yang lebih berbahaya daripada itu? Ada. Riya tentang sesuatu yang membersit di dalam hati. Karena akar riya sesungguhnya dari dalam hati, saat kita berikan sesuatu, kita ingin diketahui orang lain kalau kita beri si miskin. Ketika memberi kepada orang lain, bahkan nyaris kita tanyakan untuk beroleh pengakuan dari orang yang kita beri. Itu keadaan manusia, itu lebih berbahaya.
Adakah riya yang lebih berbahaya daripada itu? Ada. Riya tentang sesuatu yang membersit di dalam hati. Karena akar riya sesungguhnya dari dalam hati, saat kita berikan sesuatu, kita ingin diketahui orang lain kalau kita beri si miskin. Ketika memberi kepada orang lain, bahkan nyaris kita tanyakan untuk beroleh pengakuan dari orang yang kita beri. Itu keadaan manusia, itu lebih berbahaya.
Mungkin ada yang bertanya lagi, "Syaikh, adakah yang lebih berbahaya tentang riya?" Ada. Yang lebih jahat lagi, lebih durjana lagi. Apa itu? Riya dalam peribadatan-peribadatan. Orang yang beribadat, dengan mempertunjukkan, dengan mempertonton-kan kepada orang lain seolah-olah dia adalah ahli ibadah yang amat tinggi ilmunya; orang alim. Dia tunjukkan kepada orang lain bahwa dirinya orang berilmu tinggi dan alim, dengan mempertontonkan apa? Dia sudah mengaitkan sesuatu yang berbahaya. Dia hafalkan hadist. Dia hafalkan ayat Al-Quran, yang dia sampaikan kepada orang lain agar mereka menyebut dia orang pandai, orang alim, hafal hadist, hafal al-Quran. Padahal, saat dia berbicara hatinya bergerak ingin diketahui makhluk dan punya harapan ingin dipuji lawan bicara di hadapannya.
Adakah yang paling jahat dan lebih jahat lagi? Ada. Dialah riyanya orang yang berilmu, riya para ulama. Dia mengaku ulama tetapi mempertontonkannya sambil berharap akan pujian-pujian. Dia mengharap dan menjual ilmunya dengan sesuatu keduniawian yang sedikit. Lalu dia berpura-pura, menebarkan kemunafikan kepada orang banyak, bahwa dia berilmu tinggi. Maka, orang lain menyebut dia ulama, yang sesungguhnya kejahatannya lebih dari orang biasa. Itulah dia riya yang paling tinggi dan paling sulit dilepaskan, riya yang bercokol di hati ulama.
Bagaimana cara kita melepaskan diri dari riya? Yang pertama harus dikerjakan adalah dawamum dzikri. Terus menerus dalam keadaan dzikir, agar manakala hati kita sedang nyeleweng ingin dipuji makhluk, kita kembali kepada Allah SWT. Kita tidak perdulikan makhluk yang memuji atau mencaci. Kita meneruskan peribadatan, seperti ketika sedang bermunajat, "Hanya Engkau yang kumaksud, bukan makhluk. Ridha-Mu yang aku harapkan, bukan pujian dari makhluk.” Setelah itu, kita menjaganya agar kita tidak bernasib seperti orang yang tidak pernah menjaga hatinya dari pekerjaan riya. Semoga Allah SWT melindungi kita, lalu memaafkan kita. Bila terbersit dalam hati ada riya sezarrah pun besarnya, semoga Allah SWT menghapuskannya dan menerima amal ibadah kita yang bersih dari riya.
(Maqolah Syaikh Waasi' Achmad Syaechuddin ra, dari Tausiah "Riya Racun Berbahaya)
semoga bermanfaat
------- ilalang -------
No comments:
Post a Comment