Toleransi
Ada sebuah
cerita tentang anak saya yang bersekolah di negeri orang, umurnya saat itu
barulah 15 tahun. Berbagai pertanyaan dari sahabat dan kolega mengarah ke saya
soal kenapa anak sekecil itu dibiarkan bersekolah jauh dari orang tua. Sulit
memang menjawabnya, terlebih dia anak tunggal, akan tetapi nawaitu untuk
memberikan yang terbaik bagi dirinya melandasi hal itu, lalu didasari pula oleh
kenyataan bahwa ibadahnya jauh lebih baik dari saya pada saat usia yang sama.
Bersekolah
di negeri orang ternyata membuat kita sebagai orang tua harus berfikir extra,
awalnya kita survey ke sebuah dormitory dalam rangka mencari tempat tinggal,
setelah melihat bahwa dari 600 warganya hanya dia sendiri yang muslim, kami
mundur. Setelah mendapat sekolah dan homestay ada lagi masalah, dimana dia akan
sholat dan bagaimana dengan sholat jumat? Kedua hal ini sudah menjadi
pertanyaan anak saya sejak awal.
Setelah
bicara dengan para guru dan mendapat keyakinan bahwa dia akan diizinkan untuk
melaksanakan sholat disekolah, barulah kami tenang dan dapat meninggalkannya
disana. Begitulah akhirnya dia mulai bersekolah ditempat baru, teman baru, guru
baru dan semua baru. Semua baik-baik saja sampai akhirnya dia mengabarkan pada
ibunya bahwa setiap jumat dia selalu terlambat masuk kelas siang karena harus
sholat jumat dan terburu-buru makan siang. Miris memang, tapi kita tidak
mempunyai solusi apapun, kita menganggap itulah resiko yang harus dihadapi,
jalani saja.
Tahun kedua
bersekolah, kami menyempatkan diri bertemu dengan guru-gurunya, setelah ngobrol
panjang lebar soal sekolah akhirnya sampailah pertanyaan tentang ibadah. Cukup mengejutkan
jawaban dari wali kelasnya dan saya ragu apakah disini kita akan mendapat
perlakuan yang sama, jawaban itu adalah :
1. Anak saya mempunyai tempat sholat di
perpustakaan/library
2. Jam pelajaran hari jumat diundur
satu jam agar anak saya tidak terlambat masuk kedalam kelas.
Luar biasa
bukan? Hanya karena satu orang, sekolah mengambil kebijaksanaan untuk
memundurkan jam pelajaran. Subhanallah…. Kami sendiri tidak habis fikir, kenapa
jadi seperti itu, sungguh Allah Maha Mengetahui.
Suatu hari
saat bertelepon dengan ibunya, masa itu sedang ramai demo religi di tanah air
dan ibunya bertanya bagaimana tanggapannya (karena ternyata dia mengikuti
berita tanah air juga). Sebuah jawaban sederhana meluncur dari mulutnya : “mereka
begitu karena tidak pernah merasakan menjadi minoritas bu”. Sebuah jawaban yang
menohok dari seorang anak bangsa.
Semoga bermanfaat
-------
ilalang -------
No comments:
Post a Comment