Bismillahirrahmanirrahim..
Mengapa kita mengeluh
Mengapa kita mengeluh
Al Quran juz 29, surah Al Ma’arij, ayat 19-21 :
إِنَّ الْإِنْسَانَ خُلِقَ هَلُوعًا {19}
Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir.
إِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ جَزُوعًا {20}
Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah,
وَإِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوعًا {21}
dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir,
إِنَّ الْإِنْسَانَ خُلِقَ هَلُوعًا {19}
Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir.
إِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ جَزُوعًا {20}
Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah,
وَإِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوعًا {21}
dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir,
Demikianlah gambaran tentang 2 sifat buruk manusia dalam Al-Quran, ayat selanjutnya dalam Surat Al Maarij tersebut membahas tentang bagaimana mengobatinya, antara lain sholat, sadaqah, dll, dll.
Namun yang akan kita bahas saat ini adalah mengapanya dan bukan karena masalah penciptaan, akan tetapi mengapa kita tidak berusaha lari dan menghindar atau melawan sifat buruk tersebut. Hal ini akan berkaitan langsung dengan sholat misalnya, dimana sholat itu sendiri fadlilahnya menjauhkan kita dari dari sifat keji dan munkar (Al Ankabut : 45). Artinya manakala seseorang sholat, tentunya tidak ada lagi yang namanya keluh kesah dan kikir. Kita awam seringkali lupa tentang bahwa sholat yang bagaimana yang membawa fadlilah tersebut?. Karena ternyata sangat jarang saat ini yang mengajarkan kita bagaimana sholat yang benar atau bila dibalik ternyata kita tak pernah peduli tentang sholat yang benar.
Kembali pada keluh kesah, ada unsur syahwat disana, ada nafs yang tidak bisa menerima kenyataan dan bila lebih tajam lagi bisa kita sebut tidak bisa menerima Sunatullah. Kenapa demikian, kenyataan yang berbeda dengan harapan melukai nafs, sehingga melahirkan syahwat pembangkangan yang kemudian dimodifikasi oleh lisan menjadi keluh kesah. Kesan yang dibawa seolah biasa saja, tetapi inilah sesungguhnya pembangkangan yang membungkus nifak, hati-hati. Keluh kesah kemudian dianggap menjadi hal biasa, lumrah saja padahal yang dibungkus adalah ego yang berkibar, ada kalimat : “ya sudah, memang sudah nasib”, itu bila kemasan positif. Kemudian ada : “gak bisa, seharusnya saya yang benar”, itu bila kemasan negative. Sesungguhnya keduanya sama saja, yang dibungkus oleh keluh kesah ini terkadang bukan hanya nifak, bisa jadi takabur atau ujub atau gabungan dari beberapa penyakit hati.
Pada keluh kesah yang extrim bahkan ada orang menyalahkan Tuhan, lalu memangnya dia siapa?, seakan-akan dia lebih tahu dari Allah Ta’ala tentang apa yang seharusnya. Duh, ternyata kita masih harus belajar banyak lagi tentang Allah Ta’ala, sifat-sifatNya dan nama-namaNya.
Allahu’alam bissawab
------- Ilalang -------
No comments:
Post a Comment