Friday, August 10, 2018

Al - Ashr

Bismillahirrahmanirrahim..

Assalamualaikum wr wb

Happy Sayyidul Aayaam

Telah lama sekali tidak menulis, tak sengaja melihat sebuah bagan yang pernah dibuat beberapa bulan yang lalu. Berawal dari sebuah artikel saat berselancar di dunia maya, sebuah cerita tentang Surat Al - Ashr membekas di kepala, dimana seorang Syaikh berkata : "Seandainya tidak ada lagi surat yang turun setelah Al - Ashr, maka sesungguhnya cukuplah sudah".

Merenung sambil penasaran tentang apa maksud dari ucapan Syaikh tersebut, mulailah diri membuat coretan-coretan berbentuk diagram yang hasilnya dapat dilihat sebagaimana dibawah ini. Apa maksudnya? silahkan dinikmati saja sambil dicari apa maknanya karena saya sendiri tak mampu menjelaskannya.


Semoga Allah Ta'ala memberikan rahmat, hidayah dan inayahnya pada kita semua, sehingga dapat mengambil iktibar dari bagan sederhana yang sangat jauh dari sempurna diatas.

Allahu'alam bissawab
Barakallahuli walakum
Wassalamualaikum wr wb

ACT


Thursday, March 15, 2018

Akhlakul Kharimah







I am speechless, after create that diagram and hope some of you can explain it to me, thanks



Thursday, January 18, 2018

Knowledge and Religion

Bismillahirrahmanirrahim..
Assalamualaikum wr wb

Ilmu, apakah ilmu itu? Untuk apa ilmu? Mengapa kita harus mengejarnya?
Pertanyaan itu muncul setelah bolak balik membaca berita, baik itu dari media social maupun dari media beneran. Yang paling mengundang tanya adalah media social, dimana setiap orang boleh bicara apa saja, baik itu di ruang publik maupun di ruang grup (terbatas), entah itu dengan FB, WA, Line dan lainnya. Pihak pemangku kebijakan publik telah mencoba untuk membuat pagar dengan UU ITE, akan tetapi tetap saja informasi yang bertumpahan disana tak jelas kebenaran dan maksudnya. Toh dalam UU tidak diatur mengenai sindiran (baik itu pedas ataupun setengah pedas, entah itu valid atau tidak valid), nyinyiran dan sejenisnya. Hal itu karena nyinyiran dan teman-temannya itu berada di ruang abu-abu, sehingga sangat gampang berkelit (contoh : bila orang nyinyir terhadap kebijakan pemerintah, sepanjang dia tidak menyebutkan Pemerintah mana, ya.. gak bisa diapa-apakan. Bisa aja nanti ybs bilang Pemerintah Negeri Antah Berantah). Demikianlah, akhirnya ruang publik di media sosial cukup banyak berisi orang-orang pengecut yang tidak berani melakukan kritik terbuka baik terhadap perorangan maupun lembaga publik. Motifnya, sebagian iseng, sebagian cari perhatian, sebagian cari uang dengan provokasi dan alhamdulillah sebagian lagi masih tersisa orang-orang yang ingin bersilaturahmi dan berbagi hal positif.

Lalu, apa hubungannya dengan ilmu?

Nah… inilah sebenarnya yang akan kita bahas. Ilmu berada ditempat yang sangat terhormat, baik dalam atmosfir keduniawian maupun keagamaan. Terdapat nama-nama besar sepanjang sejarah yang merupakan orang berilmu, mereka dikenang dan disyukuri keberadaannya diatas muka bumi ini karena membawa perubahan yang luar biasa dengan ilmunya. Sebut saja Ibnu Sina di bidang kedokteran, Al Khawarizmi sang penemu Aljabar atau Thomas Alfa Edison atau Madame Currie atau Ibnu Rusydi, dan lain-lain. Mereka adalah orang-orang yang sarat dengan ilmu dan membawa perubahan positif dalam urusan keduniaan.

Ternyata ilmu saja tidaklah cukup dalam urusan dunia, Baginda Rasulullah saw mengatakan dalam hadistnya yang terkenal “Tholabul Ilmi” atau “carilah ilmu” yang dalam konsep agama Islam adalah mencari ilmu dengan mengharap keridhoan Allah Ta’ala. Kemudian dorongan soal llmu ini berlanjut dengan “carilah ilmu walaupun sampai ke negri China”, ada yang berpendapat bahwa hadist ini tergolong dho’if tetapi tetap saja mengandung hikmah atas betapa pentingnya ilmu. Albert Einstein, Fisikawan dunia yang terkenal itu membuat sebuah kiasan yang berbunyi “Ilmu tanpa agama BUTA dan agama tanpa ilmu LUMPUH”.

Ilmu dan Agama, yang pertama sarat dengan muatan duniawi dan yang kedua sarat dengan muatan ukhrowi, dimana keduanya harus berimbang, yang satu tak boleh meninggalkan yang lain, karena bila muatan ilmu lebih dominan dibandingkan agama, kepala kita akan cenderung mendongak keatas, kita akan berhadapan dengan betapa pintarnya “aku” dan betapa hebatnya “aku”. Sebaliknya bila muatan agama sangat dominan, maka kepala kita akan lebih banyak tertunduk, kita akan berhadapan dengan ketidakberdayaan dan ketidakmampuan dalam menyikapi hidup dan kemaslahatan, kekuatan tipu-tipu dunia beralaskan agama akan dengan mudah termakan dan tertelan bulat-bulat.

Nah, kembali ke masalah diatas, kemungkinan besar apa yang terjadi disebabkan oleh kurangnya ilmu atau kurangnya agama, atau kurang kedua-duanya. Orang beragama tidak akan nyinyir terhadap saudaranya karena itu termasuk “ghibah” dan orang berilmu akan menyampaikan pendapatnya dengan santun dan penuh kearifan.

Sebuah hadist dari Rasulullah saw yang disampaikan oleh Abu Hurairah ra. dan diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Abu Dawud yang berbunyi “man salaka thoriqon yaltamisu fihi ilman, sahalallahu thoriqon ilal Jannah” – “barang siapa menempuh perjalanan menuntut ilmu, maka Allah Ta’ala akan memudahkan jalannya menuju surga

Terakhir beberapa hadist Rasulullah saw dan ucapan Sayyidina Ali ra tentang ilmu :

Rasulullah saw, bersabda : ‘Siapa yang beramal tanpa didasari ilmu, unsur merusaknya lebih banyak daripada unsur yang memperbaikinya.’

Dan beliau juga bersabda : ‘Orang yang taat beribadah yang tak memiliki pengetahuan tentang Tuhan, bagaikan keledai yang menggerakkan jentera.’

Dan dilain kesempatan beliau bersabda : ‘Akan terjadi sejumlah fitnah dimana seorang pada pagi harinya beriman namun sorenya sudah menjadi kafir kecuali orang yang Allah hidupkan dengan ilmu.’

Sayyidina Ali ra berkata : ‘Allah tidak mengambil janji dengan kaum yang bodoh untuk menuntut ilmu sampai Dia mengambil janji dengan para ulama untuk memberikan ilmu kepada kaum yang bodoh tadi. Pasalnya ilmu telah ada sebelum kebodohan.’ Selanjutnya  beliau juga berkata : ‘Tegaknya agama oleh empat hal, pertama ulama pembicara yang mengamalkan ilmunya, kedua orang kaya yang tidak kikir dalam memberikan hartanya kepada pemeluk agama Allah, ketiga orang miskin yang tidak menukar akhiratnya dengan dunianya, dan keempat orang bodoh yang tidak angkuh untuk menuntut ilmu. Apabila seorang alim menyembunyikan ilmu, orang kaya kikir dengan hartanya, orang miskin menukar akhirat dengan dunianya dan orang bodoh tidak mau menuntut ilmu, maka dunia ini kembali mundur kebelakang.’

Allahu’alam bissawab
Barakallahu li walakum

ACT

Friday, January 12, 2018

Ustadz Abdul Somad

Bismillahirrahmanirrahim..
Assalamualaikum wr wb

Telah lebih 3 bulan lamanya tidak menulis, hampir saja berfikir bahwa telah selesai masa tulis menulis ini karena tidak terbersit sedikitpun ide menulis sebagaimana sebelumnya. Sampailah kemarin dalam perjalanan pulang kerumah, tiba-tiba ada sebuah kalimat yang melintas dikepala, segera ditangkap agar tak pergi lagi. Kalimat yang tidak panjang dan semoga menjadi awal yang baru dalam urusan tulis menulis ini, amiinn....

Ustadz Abdul Somad (semoga Allah merahmatinya dan keluarganya), anak Riau yang jadi fenomena belakangan ini, suaranya menggelegar ke penjuru negeri, menafikan suka atau tidak suka, suaranya merupakan letupan yang terpendam dari rangkaian perjalanannya dalam menuntut ilmu, mengisi ruang-ruang religi yang berbalut kehampaan pada saat ini, menghardik jiwa-jiwa yang berbalut kesombongan atas kefanaan duniawi.

Saya tidak pula terlalu sering mendengarkan ceramah beliau di you tube, tidak pula selalu bersesuaian dengan pendapatnya dan bukan pula karena sama-sama anak Melayu, tapi sore kemarin  kalimat yang melintas di kepala seperti ini :

"Abdul Somad dari Riau adalah sebuah buku yang terbuka,

barang siapa tidak memanfaatkannya niscaya termasuk orang yang merugi

barang siapa tidak berkenan dengan pendapatnya hendaknya cukuplah itu untuk dirinya sendiri, sampai Allah memberikan kemampuan padanya untuk membuat hujjah atas keberatannya.

barang siapa menutup sebuah buku yang terbuka, bersedihlah.. karena niscaya Allah akan menutup pintu-pintu ilmu baginya diatas muka bumi ini"

Demikianlah suguhan di sore yang syahdu ini, semoga bermanfaat bagi kita semua terutama bagi diri saya pribadi.

Allahu 'alam bissawab

Barakallahu li walakum
Wass
ACT

Thursday, September 28, 2017

Keyakinan (Faith)

Bismillahirrahmanirrahim
Assalamualaikum wr wb..

Sebuah tulisan tertunda dan terlantar sekian lama, baru tertulis separuh jalan dan terhenti entah karena apa, akhirnya dengan sisa kemalasan yang ada, dipaksakanlah diri untuk menuntaskannya, alhamdulillah..... semoga berkenan....

Faith – Keyakinan

Tulisan tentang keyakinan ini dimulai dengan cerita atau drama yang terjadi saat Pilkada DKI beberapa waktu yang lalu, dimana selama berbulan-bulan mata, telinga dan otak kita dijejali dengan kata-kata penistaan. Berawal dari seorang cagub non-muslim yang mengutip ayat Alquran saat berbicara didepan umum. Bagaikan menyambut umpan matang dari pemain sayap suatu kesebelasan, begitu banyak pemain yang secara tiba-tiba menjadi striker/penyerang, serombongan pemain belakang mulai dari center back, bek kiri dan bek kanan, gelandang kiri dan gelandang kanan, bahkan sampai kiperpun ikut maju meramaikan kotak penalty, semua merasa menjadi striker.

Ada apa ini dan apa yang terjadi? Fenomena ini kemudian bergulir di dunia debat, mulai dari debat dunia maya, dunia sandiwara sampai dunia nyata. Semua yang merasa tahu, mulai dari yang tahu sedikit, tahu banyak, tahu bulat sampe yang sebenernya gak tahu apa-apa ikut nimbrung bicara dan pada dasarnya semua tidak menjernihkan bahkan memperkeruh suasana. Rombongan yang ngerasa ngerti politik berteriak “ini soal PILKADA!!”, kemudian yang ngerasa ngerti soal agama menjawab “Ini soal IMAN” dan yang gak ngerti dua-duanya malah akhirnya mahfum bahwa PILKADA ternyata bukan soal IMAN. Kenapa demikian? Karena gak nyambung, wong yang satu ngomong apa… yang lain ngomong apa.

Mari kita coba untuk kupas persoalan ini dengan hati yang lapang dan ilmu yang seadanya, lhooo..? Karena kalau ilmu kita sudah terlalu tinggi urusan kayak gini cuma bikin mangkel dan geregetan yang pada akhirnya hanya akan menimbulkan hil-hil yang mustahal dan membuat lahan penistaan baru.

Masalah PILKADA, benarkah demikian?.. Dari timing/waktu kejadian/tempus delicti (lhoooo…..) sangat mungkin, karena yang berbicara didepan massa adalah salah satu calon yang ikut pilkada, walaupun pembicaraannya tidak berhubungan dengan PILKADA tapi kesalahannya dapat dijadikan sebagai kuda troya oleh lawannya dalam PILKADA. Dengan segala macam anomaly dan sustainable pressure akhirnya kita semua tahu seperti apa endingnya.

Masalah IMAN, yang jadi pertanyaan IMAN siapa?.. yang berbicara, yang menonton, yang mendengar atau yang mendengar dari orang lain?... mungkin anda sudah bisa memprediksi jawabannya, monggo mas… Urusan yang satu ini sangat sensitif, karena secara teoritis logika diletakkan dibelakang sehingga kalau dijadikan debat hanya akan membuat urat-urat leher jadi tegang (makanya Pak Kyai ngelarang debat soal agama). Iman bersanding apik dengan yang namanya Keyakinan, yang satu merupakan selimut dari yang satunya dan itu kata orang pinter keyakinan itu harganya muahaalllll.

Saking sensitifnya masalah ini, kita sudah gak perduli lagi bahwa menafsirkan Alquran itu adalah haknya Mufasir dengan seabreg persyaratannya. Kita sudah gak mau tahu bahwa Rasulullah saw itu sangat pemaaf dan sangat bijak dan sangat santun dan sangat arif (silahkan membaca lagi cerita/sejarah dalam Sirah Nabawiah atau Biografi Baginda yang ditulis oleh Muhammad Husein Haikal ataupun Karen Amstrong). Anehnya saya gak nemu contoh yang maki-maki orang, wong dilempar batu aja malah didoain selamat yang ngelempar. Terus kita niru siapa??? Keyakinan yang mana???

Terlalu panjang nih Mukadimahnya, malah ngawur… Baiklah, keyakinan atau faith atau apapun namanya adalah sesuatu yang tidak kasat mata, tidak terlihat akan tetapi akan melandasi dan mewarnai setiap gerak dan tingkah laku manusia. Khusus untuk orang Islam keyakinan itu dipoles dan di install oleh yang namanya Rukun Islam, kemudian di elaborasikan dan di ejawantahkan oleh yang namanya Rukun Iman, jelas !!!. Pasti ga jelas, wong saya aja ribed.

Intinya begini, anda dipastikan belum memiliki identitas keyakinan yang jelas bilamana anda tidak paham soal Syahadat, tapi anda tetap Islam kalau sudah melafazkan Syahadat. Sebagaimana pada tulisan terdahulu tentang Syahadat, kita telah mahfum bahwa Syahadat adalah sebuah gerbang atau “gate” yang merupakan “starting point” mengenai kapan seseorang diakui atau resmi menjadi seorang Muslim, konotasi ini tentulah lebih pas bilamana kita pakaikan pada kondisi seorang Muallaf. Bagaimana dengan “Mukallaf” atau orang yang lahir dari kedua orang tua yang Muslim? Bagi Mukallaf indentitas itu melekat secara otomatis saat dia lahir sebagaimana azaz “ius sanguinis” pada system kewarganegaraan.

Kembali pada keyakinan, bahwasanya syahadat selain sebagai gerbang identitas juga merupakan gerbang keyakinan. Memahami dengan baik tentang apa itu Syahadat akan menjadi pendorong aktif/”booster” saat melakukan rangkaian ibadah yang terdapat dalam Rukun Islam, dan tidak hanya itu. Pemahaman Syahadat yang mumpuni akan membimbing seseorang dalam mengaplikasikan apa yang terdapat dalam Rukun Iman secara an sich.

Supaya lebih jelas, kita akan lihat pada diagram dibawah ini
 

Dari diagram diatas, seyogyanya dapat kita paham mengapa Syahadat disebut sebagai Gerbang Keyakinan, akan sulit kita memahami bila tidak menggunakan alat peraga seperti diagram diatas. Nah sekarang mungkin baru dapat kita pahami betapa pentingnya Syahadat dan bahwasanya Syahadat bukanlah sebuah “lipsing” atau kata-kata tanpa makna. Tanpa memahami Syahadat niscaya untaian peribadatan yang dilakukan pada Rukun Islam menjadi hampa tak bermakna dan tanpa memahami Syahadat niscaya Rukun Iman yang tanpa wujud itu menjadi sesuatu yang absurd saja.

Allahu'alam bissawab
Wassalam

ACT

Monday, September 4, 2017

Love (the droplets of God's Majesty)

Assalamualaikum wr wb

Setelah tertahan sekian lama, ditimbang-timbang baik buruknya, akhirnya lepas juga ke dunia maya, selamat menikmati, mohon maaf bagi yang tidak berkenan.............

Love - Cinta


Rasa-rasanya sangat sulit mendefinisikan kata ini, terlalu banyak faktor yang mempengaruhi, terlalu banyak kewenangan yang mengangkanginya, terlalu banyak hal yang membuat dia tersisih bahkan tercampakkan, yang membuat keberadaannya menjadi tiada yang membuat kehadirannya menjadi sirna, pupus dalam belantara syahwat dan nafsu manusia, menghilang diantara kecongkakan dan kesombongan hewani.
Bila hari ini aku menulis tentang cinta, maka jangan berharap ada erotisme disana, jangan menunggu cerita antara dada dan paha, tidak…. Bukan dan bukan itu, aku akan bercerita tentang sisi lain dari cinta, tentang betapa agungnya, tentang betapa indahnya, tentang betapa bahagia mereka yang mendapatkan dan memilikinya.
Cinta adalah keagungan Ilahiah, dia menetes dari taman-taman surgawi (raudhatun Jannah), dia mengalir dari khazanah Ar-rahman dan Ar-rahim. Cinta tercipta saat Sang Raja berkehendak dengan Maha berkehendaknya sehingga terciptalah Nur Muhammad, lalu dengan Nur Muhammad terciptalah Kalam yang dengannya Allah menciptakan Lauhul Mahfuz lalu alam semesta.
Allah Ta’ala kemudian memberikan gambaran tentang bagaimana mencintai dalam Hadist Qudsi sebagai berikut :
“Bila diantara hambaku gemar beribadah Sunnah, maka Aku mencintainya, dan bila Aku mencintainya, maka bila dia melihat Aku menjadi matanya, bila dia memegang Aku menjadi tangannya, bila dia berjalan Aku menjadi kakinya…..”
Mungkin redaksi hadistnya tidak persis seperti itu tapi itulah kira2 isinya, lihatlah betapa Zat yang Maha Agung, Yang Maha Tinggi, Raja Diraja, menurunkan derajatnya sehingga mencapai kerendahan manusia hanya karena Cinta, sungguh betapa dahsyatnya….asyadu..(lebih dahsyat dari itu).
Manifestasi cinta di atas muka bumi ini kemudian berpendar, menyebar, mengisi ruang-ruang dialam semesta, menyentuh menyapa semua makhluk ciptaan Allah sehingga Induk harimau mengangkat cakarnya dari anaknya.
Cinta adalah keagungan dari sebuah rasa yang sedemikian indahnya sehingga Allah Ta’ala menggunakannya dalam koneksitas Pencipta dan Hamba. Getaran rasa cinta inilah yang kemudian berbuah tindakan yang disebut kasih berselimutkan rasa generasi ke 2 dari cinta yang bernama sayang.
Dalam penetrasinya pada qalbu manusia kemudian cinta melakukan splitsing/pembelahan diri demi menjangkau kategori-kategori yang sudah menjadi Qada/Ketentuan Ilahiah akan tetapi tidak mengurangi maknanya hanya berbeda-beda dalam aplikasinya. (lhooo.. katanya cinta tak mungkin terbagi…??? Tar..jangan protes dulu)
Derajat tertinggi disemaikan oleh Cinta kepada Rabbul Jalil, sang maha pencipta dan penguasa alam semesta. Diperlukan upaya yang luar biasa untuk merasakan derajat ini, usaha yang terus menerus ditopang dengan ketangguhan fisik untuk menembus lapisan-lapisan dalam pencapaiannya.
Derajat kedua disemaikan oleh Cinta kepada Rasulullah saw, sang Kekasih Allah manusia tersuci dan ruh teragung yang pernah hadir dibelantara bumi ini. Sebagaimana hal diatas pada derajat ini diperlukan upaya dan kepatuhan atas sunnahnya, risalah yang dibawanya dan copy paste atas akhlak terpujinya. Terdapat hubungan erat pada derajat ini dengan derajat diatasnya karena pada Hadist Qudsi Allah berfirman : “Barang siapa mencintai Rasulku maka penduduk langit mencintainya dan bila penduduk langit mencintainya maka Aku mencintainya”.
Pada kedua derajat diatas diperlukan upaya-upaya dan kesungguhan luar biasa dari manusia (terutama karena statusnya sebagai hamba) agar dapat meraihnya, sehingga terlihat bagaikan one way activity, padahal sesungguhnya tidaklah demikian karena setiap kegiatan ubudiah yang dilakukan hamba maka Allah Ta’ala meresponnya dengan jangkauan yang berlipat ganda sebagaimana Hadist Qudsi : “Bila hambaKu mendekatiKu sejengkal maka Aku mendekatinya sehasta dan bila dia mendekatiKu dengan berjalan maka Aku mendekatinya dengan berlari”
Derajat selanjutnya disemaikan kepada Makhluk Ciptaan Allah, dalam hal ini yang kita bahas adalah manusia (naas) yang kemudian terbagi sebagai berikut :
- Cinta Orang tua kepada anak, penuh dengan limpahan kasih yang berselimut rasa sayang, dihiasi dengan pengorbanan bagaikan tanpa henti sampai ajal menjemput, makanya ada isitilah “anak tetaplah anak setua apapun dia”. Sebaliknya cinta sang anak kepada orang tua hampir2 tak terlihat, terkadang dimasa tua sang anak bahkan menghindarinya sementara orang tua pun tak pernah berharap apa2 dari sang anak. Situasi paradox ini akan mencair saat salah satu telah berpulang, jembatan doa dan untaian airmata akan menjadi buah dari cinta.
- Cinta kepada sahabat, bersifat reciprocal (timbal balik) terkadang mutualisme (saling melengkapi). Saat ini sudah sangat jarang terlihat. Cinta jenis ini biasanya berada diwilayah para Wali Allah, dimana kebutuhan, kekaguman, penghormatan bercampur baur jadi satu dalam munajat ubudiah pada Allah Ta’ala. Cinta ini dicontohkan oleh Para Sahabat Rasulullah (Saaditina Abubakri wa Umar wa Utsman wa Ali wa Hasan wa Husein Radiallahuanhum) serta para Tabii’in. Ada sebuah cerita lokal, sepulang berguru ke Madinah, pulang lah Syaikh Arsyad Al Banjari dan sahabatnya Syaikh Samad Al Palembani ke Indonesia. Syaikh Arsyad kembali ke Martapura Kalsel dan Syaikh Samad pulang ke Palembang Sumsel. Tidak sampai setahun tidak tahan ternyata kedua sahabat ini berpisah, akhirnya berangkatlah Syaikh Samad menyusul sahabatnya di Kalimantan Selatan. Berdua mereka menulis begitu banyak buku yang menjadi acuan pesantren2 di Kalimantan dan Indonesia.
- Cinta laki-laki dan wanita, bergandeng dengan fitrah manusia yang berpasang-pasangan terkadang dimulai dengan lontaran syahwat mengenai bentuk dan rupa, kemudian berputar pada logika tentang materi, baik itu harta, keturunan dan lainnya. Sebagian besar dari kita terkadang tidak pernah maju, hanya berputar putar pada syahwat dan logika itu saja sehingga begitu keduanya sudah tak begitu penting di masa tua, yang mereka sebut cinta itupun memudar. Tidak banyak yang memahami bahwa perasaan suka kepada lain jenis saat mereka remaja sesungguhnya merupakan percikan rasa cinta yang sesungguhnya, dimana bentuk dan rupa belum menjadi tumpuan dan materi belum terfikirkan. Hanya saja setelah menerima banyak pengaruh dan informasi duniawi, cinta yang lugu itupun terabaikan.
Kenapa kita tertarik dengan lawan jenis? Syaikhuna pernah berkata : “jangan heran kalau kalian merasa begitu dekat dengan seseorang padahal kalian baru mengenalnya, sesungguhnya para Ruh berkumpul berkelompok-kelompok pada pohon di Arsy, mungkin saja orang baru yang kau rasa sangat dekat itu adalah sahabat Ruh dalam kelompok yang sama dengan Ruh mu”. Dalam dunia modern kita sebut ini chemistry. Bisa jadi cinta yang berkobar dalam kalbumu dikarenakan rindunya Ruh pada sahabatnya di alam Ruh sana.
Terdapat kekeliruan mendasar pada sebagian besar manusia saat ini, sebagian kita menganggap bahwa cinta merupakan dasar dari suatu perkawinan/pernikahan, padahal tidaklah harus demikian walaupun jika demikian mungkin akan lebih baik. Kita ambil contoh pada Rasulullah saw; berawal sebagai pegawai Siti Khadijah yang sangat jujur dan dipercaya sehingga membuat jatuh hati sang majikan, sementara Rasulullah saat itu sangat menjaga kepercayaan dari majikannya dalam melakukan pekerjaan/perdagangan. Saat Siti Khadijah menyampaikan maksud untuk menikah dengannya, Rasulullah bingung, “bagaimana mungkin, aku tidak punya apa-apa sementara usia terpaut jauh 15 tahun”. Siti Khadijah hanya mengatakan “cukup jawab engkau bersedia atau tidak, selebihnya biar menjadi urusanku”. Demikianlah bila kita cermati dimanakah “cinta” ? Jawabnya saat itu tidak ada, cinta itu bersemi dan menggelora setelah mereka berumah tangga, Siti Khadijah menjadi wanita yang menjadi istri, saudara sekaligus partner dari Rasulullah. Dialah tempat Rasulullah menangis ketakutan saat wahyu pertama turun, usapannya pada kepala Rasulullah menghentikan gemetar Rasulullah dalam selimutnya saat turun ayat “Yaa Ayyuhal Mudatstsir”. Demikan besar cinta yang terakumulasi dalam kehidupan mereka sehingga saat wafatnya Siti Khadijah Al Kubro, Rasulullah menetapkan sebagai tahun duka cita. Hal ini diakui oleh istri-istri Rasulullah setelah itu, baik Siti Aisyah, Hafsah, Zainab dan Ummu Salamah mengakui bahwa tidak ada cinta sebesar cinta Rasulullah dan Siti Khadijah Al Kubro. Pengorbanannya, kesabarannya tak ada tanding, sampai suatu saat Jibril as turun dan berkata kepada Rasulullah “Yaa Rasulullah, sampaikan kepada istrimu Khadijah bahwa Allah menyampaikan salam, dan baginya telah disiapkan sebuah rumah disurga dimana tak ada lagi keluh kesah”. Luar biasa, Allah Ta’ala menyampaikan salam. Manusia mana yang bisa mendapatkan kehormatan setinggi itu. Dan itu semua karena cintanya, no reserve.
Lalu bagaimana dengan isteri Rasulullah yang lain? Mereka cukup puas mendapatkan kasih sayang dari Rasulullah. Ini juga penegasan bahwa perkawinan tidak selalu berdasarkan cinta, Siti Aisyah menjadi isteri karena dia anak Sayyidina Abubakar as, ini motif politik untuk mempererat ukhuwah para sahabat dimasa awal. Hafsah adalah anak Sayyidina Umar yang ketika suaminya syahid diambil sebagai istri, ini juga politis, Zainab yang dicemburui oleh isteri2 lainnya adalah isteri dari Zaid bin haritsah anak angkat Rasulullah, diambil sebagai isteri saat suaminya syahid dalam perang. Hampir semua isteri setelah Khadijah bermotifkan sama (kecuali isteri terakhir – Romawi Mesir karena hadiah). Semua isteri tersebut sepakat bahwa cinta Rasulullah hanya pada Khadijah al Kubro Ummul Mukminin.
Bagaimana dengan kita? Terkadang kita sendiri bingung mencontoh siapa, mengambil definisi yang mana dan meyakini apa? Seperti disampaikan diatas bahwa perkawinan tidak harus didasari cinta tapi bila didasari cinta mungkin akan lebih baik. Terkadang juga kita terburu-buru melihat pria/wanita yang menarik, mendapatkan respon, kemudian meng-klaim bahwa itulah cinta, atau ada orang yang sangat dan penuh perhatian pada kita, mendengarkan semua curhat kita dan memberikan semua yang hal kebetulan kita harapkan, lalu kita menyebut itulah cinta.
Berdasarkan penjelasan terdahulu dan contoh kisah dari Rasulullah, ternyata cinta itu tidak berhubungan dengan syahwat dan logika. Sangat tidak logis manakala seorang janda kaya berdarah bangsawan yang bisa saja kawin dengan bangsawan manapun, malah memilih pegawainya. Ada getaran yang tak dapat ditolaknya, getaran yang membuang semua teori dari logikanya. Getaran yang sama mungkin juga dirasakan Rasulullah, akan tetapi logikanya menolaknya untuk beberapa lama, sampai logika itu sendiri tak mampu menahan getaran tersebut. Getaran itulah yang menyemaikan apa yang dinamakan cinta yang kemudian menjadi nafas dari perkawinan mereka. Mengenai syahwat, come-on…. Jarak mereka 15 tahun, mungkin kalau Rasulullah mau yang bohai dan muda saat itu juga banyak.
Jelas sudah bahwa cinta itu ternyata anti-logika, kebahagiaan orang yang dicintai lebih utama dari kebahagiaannya, no reserve. Tak perduli apa yang terjadinya dengan dirinya, karena kebahagiaan orang yang dicintai sudah merupakan anugerah yang luar biasa.
Cinta pada Derajat 1 dan 2 kita sebut Cinta Ukhrowi, sementara Cinta Duniawi untuk menunjukkan cinta selain itu. Sangat mudah untuk mendeteksi apakah cinta ukhrowi tertanam pada diri kita, getarannya sangat terasa dan memiliki jenjang yang sangat banyak, terutama pada menuju cinta ilahi. Beberapa contoh tentang rasa dalam cinta ilahi adalah sebagai berikut :
1. Bergetar dadanya saat mendengar azan, “panggilan sang kekasih”
2. Mengalir airmatanya saat mengakhiri tasyahud dalam sholat, “berpisah dengan kekasih”
3. Rasa sesal luar biasa saat tertinggal sholat walaupun dapat mengqodonya

Demikianlah sangat banyak yang lain dan mungkin berbeda-beda rasa bagi tiap orang akan tetapi intinya tetap satu Rasa Cinta. Rasa cinta yang menggebu-gebu menyulut kegembiraan saat berjumpa (sholat), kerinduan yang mengguncang (haji), kegigihan untuk berbagi (zakat/sedekah) dan keberharapan yang tak pernah putus (puasa).

Allahu’alam bissawab
Barakalllahu li walakum
Wassalamualaikum wr wb


ACT




Wednesday, August 30, 2017

The Ultimate Weapon (DOA)

Bismillahirrahmanirrahim...

Doa

Adalah bagian yang tak terpisahkan dalam hidup manusia, sebuah rangkaian kata-kata yang diluncurkan oleh lisan manusia terutama saat dirinya berada pada keadaan penuh harap atau keadaan tak berdaya. Doa dilepaskan oleh manusia sebagai pertanda ketidakmampuannya dalam menghadapi atau menyikapi sesuatu, doa juga meruntuhkan dan meluluhlantakkan ego manusia yang terkadang terjebak dalam kejumawaan dan kesombongan pengetahuan dunia yang dimilikinya. Disisi lain, doa merupakan sebuah pengakuan atas eksistensi Dzat Yang Maha Kuasa dan Maha Berkehendak yaitu Sang Rabbul Jalil.

Doa dalam pengertian “permintaan” atau “permohonan.” Seperti dalam Al-Quran surah Al-Mu’min ayat 60 dibawah ini.

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ
60. Dan Tuhanmu berfirman: “Mohonlah (mintalah) kamu kepada-Ku, pasti Aku perkenankan (permintaan) kamu itu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku [1327] akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina”.
Doa adalah sebuah pembuktian atas kedudukan antara seorang Tuan dan Hamba, dimana seorang Tuan sampai kapanpun tetaplah akan menjadi Tuan begitupun seorang hamba, tetaplah akan menjadi seorang hamba. Karena itulah maka tipuan dunia yang seolah-olah mengangkat kedudukan seorang manusia sesungguhnya hanyalah permainan dunia belaka, karena sebagai Tuan maka Hak prerogative Allah saja yang dapat mengangkat derajat seseorang baik dalam urusan dunia maupun urusan akhirat.

Kembali kepada doa, terdapat 2 perspektif yang dapat kita ambil dalam membicarakan masalah ini, yang pertama adalah konsep  syariat yang dalam bahasa sederhana akan melihat doa dari sisi "syarat dan ketentuan berlaku" dan yang kedua adalah konsep hakikat yang lebih mengutamakan hati/qalbu sebagaimana dinyatakan dalam hadist dibawah ini : 
     
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ صَخْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى أَجْسَامِكُمْ وَلاَ إِلَى صُوَ رِكُمْ ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ
“Diriwayatkan dari Abu Hurairah Abdirrahman bin Syahrin radhiyallahu ‘anhu, ‘Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada tubuh kalian dan tidak pula kepada rupa kalian, tetapi Dia melihat kepada hati kalian.” (Diriwayatkan Muslim)
Bila kita mengacu pada konsep pembelajaran (ta'lim) dunia tareqat dimana terdapat syarat "tidak ada tareqat tanpa syariat" maka jelas sudah kedua hal diatas bukanlah pilihan, melainkan bagaimana kita memandang dan menyikapinya sesuai dengan keadaan (hal) dan derajat pemahaman (maqom) masing-masing kita.
Kita tidak akan membahas doa dalam konsep syariat ataupun hakikat, akan tetapi kita akan mengupas mengenai apa sesungguhnya doa tersebut dan untuk apa ada doa? Para masyaikh meyampaikan bahwa Allah Ta'ala memberikan doa sebagai sebuah senjata canggih yang luar biasa kepada hambaNya yang bernama manusia, senjata tersebut sangat luar biasa karena salah satu keampuhannya adalah dapat merubah ketetapan Allah Ta'ala. Sampai disini kita akan bertanya-tanya, ketetapan yang mana? Untuk dapat menjawab pertanyaan itu lebih dahulu kita harus membedah mengenai Ketetapan Allah Ta'ala atau yang lebih sering kita sebut "Takdir".

Rasulullah saw pernah menyatakan bahwa Lauhil Mahfuz yang yang berisikan tulisan tentang ketetapan atas manusia sudah selesai ditulis 50.000 tahun sebelum manusia pertama dicptakan (Adam as). Nah, bagaimana mungkin tulisan mengenai manusia sejak awal sampai manusia terakhir (termasuk kita) dapat dirubah? Disini kita harus memahami tentang apa yang dimaksud Takdir. Sayyidina Ali ra ketika ditanya tentang takdir hanya menjawab "sumur yang dalam", ketikan ditanya lagi dijawab "samudra yang luas" dan ketika yang bertanya makin penasaran beliau berkata "bila engkau menghendaki suatu kejadian, maka yang akan terjadi adalah kehendakmu atau kehendak Allah", dijawab "Kehendak Allah", kemudian beliau menerangkan "itulah yang dimaksud dengan takdir".

Bila kita mau lebih teliti mencermati maksud dari Sayyidina Ali ra, maka akan kita dapatkan kata kunci tentang "kehendak" dan bahwa Allah Ta'ala telah menuliskan kehendaknya tentang manusia dalam bentuk ketetapan pada Lauhil Mahfuz, akan tetapi Sayyidina tidak menjelaskan secara rinci mengenai ketetapan tersebut, termasuk bahwa diantaranya ada yang dapat dirubah oleh sebuah senjata yang bernama "Doa".

Untuk mengetahui ketetapan yang mana yang dapat dirubah, maka kita akan membedah dulu tentang ketetapan Allah yang terbagi menjadi :
1. Qada, Ketetapan yang tidak dapat atau mungkin dirubah, karena bila dirubah dapat merusak harmonisasi alam semesta termasuk juga disini mengenai lahir dan matinya seorang manusia. Ketetapan ini hanya menyangkut dihembuskan ruh dan dicabutnya ruh, tidak termasuk tatacaranya, karena tatacaranya bisa saja termasuk dalam jenis ketetapan selanjutnya.
2. Qadar, ketetapan yang dapat dirubah, terbagi 2 :
    a. Qadar Qubro, ketetapan besar, inilah yang dapat dirubah dengan doa dan perubahan yang dilakukan semata-mata atas kehendak Allah Ta'ala..
   b. Qadar Sugro, ketetapan kecil, ini dapat dirubah dengan akal manusia, dengan upaya dan ikhtiar termasuk ijtihad. Menarik membahas tetntang Qadar Sugro ini karena kita akan dihadapkan pada teori logika sebagaimana pengetahuan manusia. Teori ini pada intinya mengatur tentang sebab akibat atas keputusan yang diambil manusia tentang suatu hal atau kejadian. Agak mirip dengan teori varian pada permainan catur, bahwa setiap langkah yang kita ambil terdapat berbagai varian yang merupakan langkah selanjutnya, hanya saja bila varian catur masih dapat kita tulis, maka varian dalam ketetapan ini tidak mungkin ditulis karena varian yang dihasilkan atas satu langkah yang diambil, bisa saja sejuta atau semilyar langkah varian, mungkini inilah yang dimaksud oleh Sayyidina Ali ra sebagai "sumur yang dalam" atau "samudra yang luas".

Bila kita cermati terlihat bahwa doa dapat merubah apa yang sudah ditulis sebagai Qadar Qubro yang merupakan ketetapan Allah Ta'ala. Disini dapat kita renungkan kedahsyatan doa, bahwasanya Allah Ta'ala, Yang Maha Kuasa, Yang Maha Berkehendak, Yang Berdiri Sendiri dengan segala ke Maha-an Nya, ternyata mau merubah ketetapanNya, apakah itu bukan dahsyat namanya? Tentulah doa tersebut terpancar dari hati/qalbu yang tulus, penuh kerendahan sehingga Allah Ta'ala tergugah dan memenuhi permintaannya. Selain itu jangan lupa tentang apa yang diajarkan oleh dunia syariat bahwa agar doa anda terjawab sebagaimana ayat Quran diatas haruslah diingat "syarat dan ketentuan berlaku"

Demikian semoga bermanfaat.

Billahi taufiq wal hidayah
Barakallahu li walakum
Wasalam

ACT


Sejarah

  Bismillahirrahmanirrahim… Sejarah Sejarah adalah cerita tentang masa lalu, bisa jadi tentang kebaikan atau keburukan, kemegahan atau k...