Bismillahirrahmanirrahim…
Pengantar.
Dongeng ini dibuat untuk memenuhi
janji kepada sahabatku RM. Zein Abidin 12 tahun yang lalu, bahan untuk narasi
dongeng diambil dari berbagai sumber yang tidak dapat disebutkan satu persatu
termasuk imajinasi. Harap pembaca tidak menganggap ini sebagai sejarah karena
dibuat sebagai cerita dongeng biasa. Agar dongeng ini dapat menjadi sejarah,
sangat diperlukan koreksi, masukan dan tambahan dari semua yang membaca dan
berkepentingan dengan dongeng ini. Apabila tidak ada masukan, tambahan atau
koreksi apapun dari pembaca, maka dongeng ini tetaplah akan menjadi dongeng
saja. Karena itu saya menghimbau, terutama kepada sahabat, rekan dan para
dzuriyat agar dapat melengkapi dongeng ini sehingga kita akan mendapatkan
sebuah sejarah tentang indahnya Kerajaan Palembang Darussalam yang kita
banggakan.
Awan hitam menggayut di atas
langit Demak, sebuah berita duka datang dari seberang, Patih Unus menantu Raden Patah yang menjadi
penguasa Demak dikabarkan gugur dalam peperangan melawan Portugis di Malaka,
pasukannya hancur dan yang berhasil lolos tidak kembali ke Demak, sebagian
merapat di Banten dan menetap disana. Hal ini disebabkan huru-hara yang terjadi
di Keraton Demak sepeninggal Patih Unus, terjadi perebutan kekuasaan antara
anak-anak Raden Patah, Pangeran Trenggono (anak Permaisuri) dan Pangeran Kikin
(anak selir dari Jipang) saling berebut pengaruh untuk menjadi raja, sementara
menantu-menantunya Fatahillah dan Pangeran Pasarean tak mampu berbuat apa-apa
karena disibukkan dengan konsolidasi pasukan Demak-Cirebon yang sedang bergerak
kearah barat.
Huru-hara ini memicu pertikaian
berdarah, Pangeran Mukmin anak tertua Pangeran Trenggono yang membela ayahnya
mengutus seorang perwiranya untuk membunuh Pangeran Kikin. Malam itu gugurlah
Pangeran Kikin dalam sebuah duel di tepi sungai, hal ini dikenang masyarakat
Demak dengan memberikan gelar “Pangeran Sekar Seda ing Lepen” yang berarti “Bunga yang Gugur di tepi
Sungai” kepada Pangeran Kikin. Ketegangan
akibat pertikaian ini makin menjadi, pihak yang berafiliasi dengan keluarga
Pangeran Kikin yang berbasis di Jipang merasa tertekan oleh Pihak Pangeran
Trenggono yang berkuasa, akhirnya memilih pergi. Eksodus ini dilakukan oleh 24
bangsawan yang berafiliasi ke Adipati Jipang berlayar menuju tanah Palembang
dipimpin oleh Ki Gede Ing Suro yang ayahnya dulu pernah diperintahkan oleh
Raden Patah untuk menyerang Portugis di Malaka dari Palembang. Mereka mendarat
di Palembang tahun 1547.
Sementara di Demak, silih
berganti korban berjatuhan, Pangeran Mukmin atau Sunan Prawata tewas ditangan
orang suruhan Arya Penangsang /Adipati Jipang anak Pangeran Kikin pada tahun
1549, tak sampai disitu, Pangeran Hadari suami dari Ratu Kalinyamat juga ikut
di bunuh yang memicu legenda sumpah Ratu Kalinyamat “tidak akan berhenti tapa
sebelum ada yang membawakan kepala Arya Penangsang kehadapannya”. Akhirnya
Hadiwijaya/Joko Tingkir Adipati Pajang yang juga menantu Pangeran Trenggono membuat sebuah
aliansi untuk menghancurkan Arya Penangsang, dibantu oleh Ki Gede Pemahanan dan
anaknya Sutawijaya mereka menyerbu Demak dan dengan sebuah siasat setelah
perang tak kunjung berhenti akhirnya Arya Penangsangpun tumbang. Murid Sunan
Kudus itu meregang nyawa setelah ususnya yang terburai putus oleh kerisnya
sendiri. Berakhirlah masa Kerajaan Demak, singgasana kemudian diboyong pindah
ke Pajang dan Ki Gede Pemanahan serta anaknya mendapatkan hadiah tanah dari
Hadiwijaya yang kemudian diberi nama Mataram.
Terdapat simpang siur angka tahun
dari para sejarawan mengenai peristiwa pada era ini, De Graaf, Pigeaud maupun
Tomi Pires dan beberapa sejarawan Indonesia berbeda pendapat soal angka tahun. Agar
alur cerita tetap terjaga, maka kita harus mengambil jalan tengah, bila Patih
Unus gugur tahun 1521, maka Trenggono berkuasa sampai tahun 1546, selanjutnya
Prawata memerintah hanya 3 tahun karena 1549 dia dibunuh oleh Arya Penangsang,
selanjutnya Arya Penangsang tumbang ditangan aliansi Hadiwijaya/Joko Tingkir
dan Sutawijaya pada tahun yang sama.
Kita kembali ke cerita eksodus
para bangsawan Demak ke Palembang.
Terdapat banyak versi mengenai cerita awal ini, bahkan para sejarawan
tidak menemukan kesepakatan dalam hal ini,
beberapa hal yang menjadi perdebatan antara lain:
1. Ki
Sido Ing Lautan dan Ki Gede Ing Suro sebenarnya satu orang, ada yang sepakat
tapi lebih banyak yang tidak.
2. Ki
Sido Ing Lautan adalah anak dari Pangeran Purbaya dan cucu dari Raden Patah,
versi ini sama dengan silsilah yang dibuat Kerajaan Belanda tapi kalau melihat
tahun sepertinya tidak mungkin Cucu dan Kakek hidup pada generasi yang sama
3. Ki
Sido Ing Lautan adalah anak Ki Sedareja dan merupakan cucu dari Raden Kusen
adik dari Raden Patah, versi ini juga sama seperti nomor 2
4. Ki
Sido Ing Lautan adalah Putra Raden Patah yang dikirim untuk memobilisasi
pasukan laut dari Palembang dan bersama aliansi maritime kerajaan-kerajaan
wilayah barat menyerbu Portugis di Malaka tahun 1512, gugur disana. Versi inilah
sepertinya yg mengaburkan sejarah sehingga ada yang berpendapat Ki Gede Ing
Suro adalah anak Patih Unus.
Dari 4 versi tersebut, kita cari
jalan tengah yang paling masuk akal dan dapat mengisi celah kekacauan cerita
walaupun mungkin tidak 100% benar. Hipotesanya adalah sebagai berikut :
“Ki Sido Ing Lautan gugur di
Malaka saat menyerang Portugis tahun 1512 (Sumber : Buku “Sejarah Daerah
Sumatera Selatan”, tulisan Drs. Ma’moen Abdullah, hal. 59-71). saat
itu anaknya masih kecil dan pada tahun 1547 anaknya Ki Gede Ing Suro memimpin eksodus
24 bangsawan Demak ke Palembang karena ayahnya pernah berkuasa sebagai pimpinan
disana”
Dengan hipotesa diatas kita
akhirnya mendapatkan alur tahun yang lumayan mendekati, karena 3 tahun setelah
mendarat di Palembang yaitu tahun 1550 mereka kedatangan Joko Tingkir atau
Hadiwijaya yang baru berkuasa setelah mengalahkan Arya Penangsang setahun
sebelumnya. Joko Tingkir datang dengan nama Mas Karebet, menemui para bangsawan
yang eksodus ini sekaligus mengabarkan kematian Arya Penangsang pimpinan Jipang
afiliasi mereka. Akhirnya tercapai kesepakatan dan Ki Gede Ing Suro dinobatkan
menjadi Raja Kerajaan Palembang yang tunduk dibawah wilayah Kerajaan Pajang
sebagai penerus Kerajaan Demak.
Sebelum masuk ke cerita Kerajaan
Palembang dalam wilayah Demak/Pajang, kita akan mundur dulu melihat Kerajaan
Palembang saat masih dalam wilayah Kerajaan Majapahit sebagaimana diceritakan
dalam blog https://arditamin.blogspot.co.id/2017/01/the-forgotten-story.html
.
Kerajaan Palembang dalam wilayah Majapahit
1. Aria
Damar (Tan Swan Liong) (1455 – 1486)
Kemudian
berganti nama menjadi Ario Dillah adalah Putra Brawijaya I yang pada zaman Ratu
Suhita (Majapahit) dikirim ke Palembang untuk mengurus wilayah tersebut atas
nama Majapahit. Mendirikan keraton Kuto Gawang yang berlokasi di Pabrik PT
PUSRI sekarang, keraton tersebut hancur dan habis di bakar Belanda tahu 1659.
Tiba di Palembang 1440 bersama Sunan Ampel dan keratonnya berdiri tahun 1455
bersamaan dengan tibanya selir Brawijaya 5 yang kemudian menjadi isterinya.
2. Adipati
Karang Widara (1486 - ………)
Tidak diketahui
asal usulnya, tetapi menurut cerita dia menggantikan Ario Dillah yang pada
akhir masa pemerintahannya diterpa berbagai masalah sehingga dibuang ke Cirebon
dan wafat disana.
Kerajaan Palembang dibawah wilayah Demak/Pajang/Mataram
1. Pangeran
Sido Ing Lautan (………… - 1512)
Runtuhnya
Majapahit dan berdirinya Kerajaan Demak membuat situasi pemerintahan berubah,
tidak diketahui apakah Adipati Karang Widara sebagai wakil Majapahit masih
memerintah di Palembang atau tidak. Akan tetapi sejarah mencatat Demak 2 kali
menyerang Portugis di Malaka (http://nationalgeographic.co.id/berita/2015/07/kisah-raja-muda-dari-demak-yang-menantang-portugis)
dan serangan pertama tahun 1512-1513 adalah gabungan dari Pasukan Demak dan
Pasukan Palembang. Kisah ini memunculkan sebuah nama Pangeran Sido Ing Lautan
yang menjadi misteri karena banyaknya versi cerita tentangnya. Sebuah versi
mengatakan bahwa dia adalah kerabat Raden Patah yang sudah bersama sejak dari
Palembang. Ketika Demak merencanakan menyerang Malaka 1512, Pangeran Sido Ing
Lautan diperintahkan ke Palembang untuk memobilisasi pasukan dan kemudian
bergabung dengan Pasukan Demak yang dipimpin Patih Unus. Dalam pertempuran di
Malaka tersebut Sang Pangeran gugur sementara Patih Unus mundur kembali ke
Demak. Sejak itulah namanya dikenal sebagai Pangeran Sido Ing Lautan sementara Patih
Unus mendapat gelar Pangeran Sabrang Lor.
2. Ki
Gede Ing Suro (1547 – 1572)
Setelah masa
“interregnum”selama 32 tahun. Datanglah anak dari Pangeran Sido Ing Lautan yang
saat ayahnya berangkat menyerang Portugis di Malaka masih berusia kanak-kanak. Ki Gede Ing Suro datang bersama 24 bangsawan Demak lainnya yang
hijrah ke Palembang kembali ke tanah leluhurnya, mendarat di Palembang tahun
1547. Pada tahun 1550 Ki Gede Ing Suro di nobatkan menjadi Raja di Kerajaan
Palembang yang diakui oleh Kerajaan Demak yang saat itu sudah pindah ke Pajang.
Berkuasa selama 26 tahun, dalam versi lain 22 tahun dan karena tidak memiliki
anak, kekuasaan selanjutnya dipegang oleh adiknya Ki Gede Ing Suro Muda.
3. Ki
Gede Ing Suro Muda (1572 – 1589)
Raja ini adalah
adik dari Ki Gede Ing Suro yang menggantikan kakaknya menjadi raja, saudara
perempuannya menikah dengan Ki Gede Ing Ilir yang kemudian melahirkan penerus
raja Kerajaan Palembang selanjutnya. Pada Masa ini dibangun kompleks Pemakaman
Raja-Raja “Gedingsuro”.
4. Pangeran
Kimas Dipati (1589 – 1594)
Anak dari Ki
Gede Ing Ilir yang menggantikan pamannya karena tidak memiliki penerus
5. Pangeran
Madi Angsoka (1594 – 1629)
Saudara dari
Pangeran Kimas Dipati, pada masa ini terjadi “Perang Kafir” melawan Banten yang
disebabkan hasutan Pangeran Mas anak Arya Pangiri cucu Sunan Prawata/Demak yang
membuat cerita bahwa Kerajaan Palembang
masih kafir dan belum Islam, cerita ini kemungkinan besar berlatar belakang
dendam karena Kerajaan Palembang berasal dari pelarian aliansi Adipati Jipang
yang membunuh kakeknya. Mendapat masukan itu, spontan Raja Banten saat itu Maulana
Muhammad yang masih muda menjadi panas, semangat dakwah mengislamkan nusantara
yang berbaur dengan darah muda membuatnya segera membuat rencana penyerangan
bersama dengan Pasukan Lampung yang menjadi tandemnya. Lahirlah motto “Lamun
Banten di hareup Lampung di Buri, lamun Banten di Buri Lampung di hareup”.
Perang berlangsung berhari-hari di Sungai Musi yang berakhir dengan gugurnya
Maulana Muhammad dan mundurnya pasukan Banten kembali ke pangkalannya.
6. Pangeran
Madi Alit (1629 – 1630)
Meninggalnya Pangeran
Madi Angsoka, memicu perebutan kekuasaan antara saudaranya dengan menantunya
(Pangeran Jambi) yang akhirnya dimenangkan oleh saudaranya Pangeran Madi Alit,
Raja ini hanya memerintah 1 tahun saja karena terbunuh dalam suatu perselisihan
dalam keraton.
7. Pangeran
Made Soka / Raden Aria (1630 – 1636)
Menggantikan
saudaranya Pangeran Made Alit, disebut juga Pangeran Sido Ing Puro karena
meninggal didalam Pura.
8. Pangeran
Sido ing Kenayan (1636 – 1652)
Menggantikan
saudaranya, istri atau Sang Permaisuri sangat terkenal pada masyarakat
Palembang yang disebut Ratu Sinuhun, Sang Ratu membuat sebuah karya
ketatanegaraan yang sangat terkenal disebut “Undang-undang Simbur Cahaya”
9. Pangeran
Sido Ing Pasarean (1652 – 1653)
Pangeran Sido
Ing Kenayan wafat tidak meninggalkan keturunan, yang menggantikannya justru
adalah saudara Ratu Sinuhun yaitu
Pangeran Ali Seda Ing Pasarean yang masih keponakannya sendiri. Ratu Sinuhun
dan Pangeran Pasarean adalah anak Nyi Gede Ing Pembayun saudara dari Pangeran
Sido Ing Kenayan yang kawin dengan Tumenggung Mancanegara dari Cirebon. Dengan
naiknya Pangeran Sido Ing Pasarean menjadi Raja Palembang maka beralihlah nasab
Raja-raja Palembang selanjutnya dari Demak ke Cirebon.
10. Pangeran
Sido Ing Rajek (1653 – 1660)
Raja ini
memerintah hanya setahun dan meninggal mendadak ditempat tidur, digantikan oleh
anaknya Pangeran Sido Ing Rajek. Pada masa ini terjadi penyerangan oleh Pasukan
Belanda yang membakar kota Palembang (1659) sehingga Raja mundur samapi ke
Indera Laya. Pangeran Sido Ing Rajek meninggal di Indera Laya dan kemudian
dimakamkan di dusun Saka Tiga.
Kerajaan Palembang Darussalam
1. Raden
Tumenggung/Kimas Endi Ario Kesumo ( 1659 -1706)
Adalah adik dari
Pangeran Sido Ing Rajek, kemudian dikenal sebagai Sunan Cinde Walang yang
menyatakan melepaskan diri dari wilayah Mataram sehingga Kerajaan Palembang
Darussalam berdiri sendiri, Gelar lengkapnya adalah Sultan Abdurrahman
Khalifatul Mukminin Sayyidul Imam. Pada masa ini didirikan Keraton Beringin
janggut dan Kompleks Pemakaman Raja Cinde Walang.
2. Sultan
Muhammad Mansyur (1706 – 1714)
Nama panjangnya
Sultan Muhammad Mansyur Jayo Ing Lago adalah anak dari Sultan Abdurrahman. Pada
masa ini pemerintahan sudah mulai mendapat gangguan dari VOC/Belanda.
3. Sultan
Komaruddin/Raden Uju (1714 – 1724)
Menggantikan
kakaknya menjadi raja selama 10 tahun
4. Sultan
Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo (1724 – 1758)
Anak dari Sultan
Muhammad Mansyur. Pada masa ini dibangun Keraton Kuto Batu atau Kuto Lamo pada
tahun 1737. Dibangun pula Kompleks Pemakaman Sultan Kawah Tengkurep pada masa
ini.
5. Sultan
Ahmad Najamuddin Adi Kesumo (1758 – 1776)
Anak dari Sultan
Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo
6. Sultan
Muhammad Bahauddin ( 1776 – 1803)
Anak dari Sultan
Ahmad Najamuddin Adi Kesumo Pada masa ini dibangun Keraton Kuto Besak pada
tahun 1791 – 1797 yang langsung ditempati Sultan begitu selesai, sementara
Keraton Kuto Batu ditempati Putra Mahkota Sultan Mahmud Badaruddin II yang saat
itu bergelar Pangeran Ratu.
7. Sultan
Mahmud Badaruddin II/Susuhunan Mahmud Badaruddin (1803 – 1812)
Anak dari Sultan
Muhammad Bahauddin yang menggantikan ayahnya menjadi Raja di Palembang bukanlah
sahabat Belanda, masa pemerintahannya penuh dengan drama perjuangan, bagaimana
Sultan sebagai raja berusaha keras untuk mempertahankan bukan hanya kehormatannya
tapi juga kedaulatan rakyatnya. Ditengah kekalutan akibat penaklukan Inggris
atas Jawa pada tahun 1811, Sultan membantai delapan puluh dua orang (24 nya
adalah Belanda) Garnizun Belanda di Loji
Sungai Aur Palembang. Pada tahun 1812 Inggris menyerang dan merampok Keraton
Palembang serta mengangkat adiknya Sultan Ahmad Najamuddin menjadi Raja dengan gelar Susuhunan Diyauddin, sang
Sultan berhasil melarikan diri, akan tetapi tahun 1813 dia menyerah dan kembali
ke Palembang menjadi Raja kembali sampai Rafless menolak ketetapan tersebut dan
kembali mengangkat adiknya menjadi Raja. Demikianlah campur tangan Inggris dan
Belanda dalam pemerintahan Kerajaan Palembang Darussalam yang mengakibatkan
ketegangan antara dua bersaudara yang menjadi Raja ini.
8. Sultan
Ahmad Najamuddin I/Susuhunan Diyauddin (1813 – 1818)
Menjadi Raja
setelah Ketetapan Residen Palembang atas pengangkatan kembali Sultan Mahmud
Badaruddin II ditolak Raflfes.
Memerintah dalam aroma ketegangan karena kakaknya yang seharusnya menjadi Raja
masih berada di Palembang. Suasana ini berlangsung sampai tahun 1818 dimana
Belanda mengirimkan satu ekspedisi ke Palembang menangkap dan mengasingkan
Sultan Ahmad Najamuddin/Susuhunan Diyauddin ke Batavia kemudian ke Cianjur.
9. Sultan
Mahmud Badaruddin II/Susuhunan Mahmud Badaruddin (1818 – 1821)
Penangkapan
Sultan Ahmad Najamuddin tidak membuat Kerajaan Palembang takluk, karena disana
masih ada Sultan Mahmud badaruddin II yang segera memimpin pemerintahan.
Belanda kembali mengirimkan ekspedisi pada tahun 1819 akan tetapi dapat
dikalahkan oleh sang Sultan. Pada Tahun 1821 Belanda menghimpun pasukan besar
yang terdiri dari 4.000 orang serdadu. Serangan pertama dapat dipatahkan oleh
pasukan Palembang, tapi serangan kedua berhasil menembus pertahanan mereka dan
Sultan Mahmud Badaruddin II diasingkan ke Ternate. Anak tertua Sultan yang diangkat
menjadi Putra Mahkota dengan memakai gelar pamannya Sultan Ahmad Najamuddin II
Pangeran Ratu ikut ditangkap Belanda dan diasingkan ke Ternate.
10. Sultan
Ahmad Najamuddin III Prabu Anom (1821 -1825)
Adalah anak dari
Susuhunan Diyauddin yang menjadi raja setelah ayah, paman dan sepupunya
ditangkap dan diasingkan Belanda. Memimpin pemberontakan pada 29 November 1824
namun akhirnya tertangkap Belanda tanggal 15 Oktober 1825 dan diasingkan ke Banda
19 Oktober 1825 kemudian ke Manado.
11. Pangeran
Kramo Jayo (1825 – 1851)
Pangeran Keramo Jayo menantu Sultan Mahmud Badaruddin II diangkat
oleh pemerintah Belanda sebagai Rijksbe-stuurder. Pada tahun 1851, karena diduga
mengorganisir pemberontakan di pedalaman, ia ditangkap dan diasingkan ke
Probolinggo dan wafat tanggal 5 Mei 1862. Semenjak itu jabatan Rijksbe-stuurder
dihapuskan dan jabatan tertinggi orang pribumi hanya demang dan berakhirlah
Kejayaan Kerajaan Palembang Darussalam.
Allahu'alam bissawab
Wass
ACT
No comments:
Post a Comment