Tuesday, August 29, 2017

Rise and Fall Venice from East (Palembang Darussalam)

Bismillahirrahmanirrahim…

Pengantar.

Dongeng ini dibuat untuk memenuhi janji kepada sahabatku RM. Zein Abidin 12 tahun yang lalu, bahan untuk narasi dongeng diambil dari berbagai sumber yang tidak dapat disebutkan satu persatu termasuk imajinasi. Harap pembaca tidak menganggap ini sebagai sejarah karena dibuat sebagai cerita dongeng biasa. Agar dongeng ini dapat menjadi sejarah, sangat diperlukan koreksi, masukan dan tambahan dari semua yang membaca dan berkepentingan dengan dongeng ini. Apabila tidak ada masukan, tambahan atau koreksi apapun dari pembaca, maka dongeng ini tetaplah akan menjadi dongeng saja. Karena itu saya menghimbau, terutama kepada sahabat, rekan dan para dzuriyat agar dapat melengkapi dongeng ini sehingga kita akan mendapatkan sebuah sejarah tentang indahnya Kerajaan Palembang Darussalam yang kita banggakan. 


Demak 1521

Awan hitam menggayut di atas langit Demak, sebuah berita duka datang dari seberang,  Patih Unus menantu Raden Patah yang menjadi penguasa Demak dikabarkan gugur dalam peperangan melawan Portugis di Malaka, pasukannya hancur dan yang berhasil lolos tidak kembali ke Demak, sebagian merapat di Banten dan menetap disana. Hal ini disebabkan huru-hara yang terjadi di Keraton Demak sepeninggal Patih Unus, terjadi perebutan kekuasaan antara anak-anak Raden Patah, Pangeran Trenggono (anak Permaisuri) dan Pangeran Kikin (anak selir dari Jipang) saling berebut pengaruh untuk menjadi raja, sementara menantu-menantunya Fatahillah dan Pangeran Pasarean tak mampu berbuat apa-apa karena disibukkan dengan konsolidasi pasukan Demak-Cirebon yang sedang bergerak kearah barat.

Huru-hara ini memicu pertikaian berdarah, Pangeran Mukmin anak tertua Pangeran Trenggono yang membela ayahnya mengutus seorang perwiranya untuk membunuh Pangeran Kikin. Malam itu gugurlah Pangeran Kikin dalam sebuah duel di tepi sungai, hal ini dikenang masyarakat Demak dengan memberikan gelar “Pangeran Sekar Seda ing Lepen”  yang berarti “Bunga yang Gugur di tepi Sungai” kepada Pangeran Kikin.  Ketegangan akibat pertikaian ini makin menjadi, pihak yang berafiliasi dengan keluarga Pangeran Kikin yang berbasis di Jipang merasa tertekan oleh Pihak Pangeran Trenggono yang berkuasa, akhirnya memilih pergi. Eksodus ini dilakukan oleh 24 bangsawan yang berafiliasi ke Adipati Jipang berlayar menuju tanah Palembang dipimpin oleh Ki Gede Ing Suro yang ayahnya dulu pernah diperintahkan oleh Raden Patah untuk menyerang Portugis di Malaka dari Palembang. Mereka mendarat di Palembang tahun 1547.

Sementara di Demak, silih berganti korban berjatuhan, Pangeran Mukmin atau Sunan Prawata tewas ditangan orang suruhan Arya Penangsang /Adipati Jipang anak Pangeran Kikin pada tahun 1549, tak sampai disitu, Pangeran Hadari suami dari Ratu Kalinyamat juga ikut di bunuh yang memicu legenda sumpah Ratu Kalinyamat “tidak akan berhenti tapa sebelum ada yang membawakan kepala Arya Penangsang kehadapannya”. Akhirnya Hadiwijaya/Joko Tingkir Adipati Pajang yang juga menantu Pangeran Trenggono membuat sebuah aliansi untuk menghancurkan Arya Penangsang, dibantu oleh Ki Gede Pemahanan dan anaknya Sutawijaya mereka menyerbu Demak dan dengan sebuah siasat setelah perang tak kunjung berhenti akhirnya Arya Penangsangpun tumbang. Murid Sunan Kudus itu meregang nyawa setelah ususnya yang terburai putus oleh kerisnya sendiri. Berakhirlah masa Kerajaan Demak, singgasana kemudian diboyong pindah ke Pajang dan Ki Gede Pemanahan serta anaknya mendapatkan hadiah tanah dari Hadiwijaya yang kemudian diberi nama Mataram.

Terdapat simpang siur angka tahun dari para sejarawan mengenai peristiwa pada era ini, De Graaf, Pigeaud maupun Tomi Pires dan beberapa sejarawan Indonesia berbeda pendapat soal angka tahun. Agar alur cerita tetap terjaga, maka kita harus mengambil jalan tengah, bila Patih Unus gugur tahun 1521, maka Trenggono berkuasa sampai tahun 1546, selanjutnya Prawata memerintah hanya 3 tahun karena 1549 dia dibunuh oleh Arya Penangsang, selanjutnya Arya Penangsang tumbang ditangan aliansi Hadiwijaya/Joko Tingkir dan Sutawijaya pada tahun yang sama.
Kita kembali ke cerita eksodus para bangsawan Demak ke Palembang.  Terdapat banyak versi mengenai cerita awal ini, bahkan para sejarawan tidak menemukan kesepakatan dalam hal ini,  beberapa hal yang menjadi perdebatan antara lain:

1.       Ki Sido Ing Lautan dan Ki Gede Ing Suro sebenarnya satu orang, ada yang sepakat tapi lebih banyak yang tidak.
2.       Ki Sido Ing Lautan adalah anak dari Pangeran Purbaya dan cucu dari Raden Patah, versi ini sama dengan silsilah yang dibuat Kerajaan Belanda tapi kalau melihat tahun sepertinya tidak mungkin Cucu dan Kakek hidup pada generasi yang sama
3.       Ki Sido Ing Lautan adalah anak Ki Sedareja dan merupakan cucu dari Raden Kusen adik dari Raden Patah, versi ini juga sama seperti nomor 2
4.       Ki Sido Ing Lautan adalah Putra Raden Patah yang dikirim untuk memobilisasi pasukan laut dari Palembang dan bersama aliansi maritime kerajaan-kerajaan wilayah barat menyerbu Portugis di Malaka tahun 1512, gugur disana. Versi inilah sepertinya yg mengaburkan sejarah sehingga ada yang berpendapat Ki Gede Ing Suro adalah anak Patih Unus.

Dari 4 versi tersebut, kita cari jalan tengah yang paling masuk akal dan dapat mengisi celah kekacauan cerita walaupun mungkin tidak 100% benar. Hipotesanya adalah sebagai berikut :
“Ki Sido Ing Lautan gugur di Malaka saat menyerang Portugis tahun 1512 (Sumber : Buku “Sejarah Daerah Sumatera Selatan”, tulisan Drs. Ma’moen Abdullah, hal. 59-71). saat itu anaknya masih kecil dan pada tahun 1547 anaknya Ki Gede Ing Suro memimpin eksodus 24 bangsawan Demak ke Palembang karena ayahnya pernah berkuasa sebagai pimpinan disana”


Palembang 1547

Dengan hipotesa diatas kita akhirnya mendapatkan alur tahun yang lumayan mendekati, karena 3 tahun setelah mendarat di Palembang yaitu tahun 1550 mereka kedatangan Joko Tingkir atau Hadiwijaya yang baru berkuasa setelah mengalahkan Arya Penangsang setahun sebelumnya. Joko Tingkir datang dengan nama Mas Karebet, menemui para bangsawan yang eksodus ini sekaligus mengabarkan kematian Arya Penangsang pimpinan Jipang afiliasi mereka. Akhirnya tercapai kesepakatan dan Ki Gede Ing Suro dinobatkan menjadi Raja Kerajaan Palembang yang tunduk dibawah wilayah Kerajaan Pajang sebagai penerus Kerajaan Demak.
Sebelum masuk ke cerita Kerajaan Palembang dalam wilayah Demak/Pajang, kita akan mundur dulu melihat Kerajaan Palembang saat masih dalam wilayah Kerajaan Majapahit sebagaimana diceritakan dalam blog https://arditamin.blogspot.co.id/2017/01/the-forgotten-story.html .



Kerajaan Palembang dalam wilayah Majapahit



1.       Aria Damar (Tan Swan Liong) (1455 – 1486)

Kemudian berganti nama menjadi Ario Dillah adalah Putra Brawijaya I yang pada zaman Ratu Suhita (Majapahit) dikirim ke Palembang untuk mengurus wilayah tersebut atas nama Majapahit. Mendirikan keraton Kuto Gawang yang berlokasi di Pabrik PT PUSRI sekarang, keraton tersebut hancur dan habis di bakar Belanda tahu 1659. Tiba di Palembang 1440 bersama Sunan Ampel dan keratonnya berdiri tahun 1455 bersamaan dengan tibanya selir Brawijaya 5 yang kemudian menjadi isterinya.

2.       Adipati Karang Widara (1486 - ………)
Tidak diketahui asal usulnya, tetapi menurut cerita dia menggantikan Ario Dillah yang pada akhir masa pemerintahannya diterpa berbagai masalah sehingga dibuang ke Cirebon dan wafat disana.

Kerajaan Palembang dibawah wilayah Demak/Pajang/Mataram


1.       Pangeran Sido Ing Lautan (………… - 1512)

Runtuhnya Majapahit dan berdirinya Kerajaan Demak membuat situasi pemerintahan berubah, tidak diketahui apakah Adipati Karang Widara sebagai wakil Majapahit masih memerintah di Palembang atau tidak. Akan tetapi sejarah mencatat Demak 2 kali menyerang Portugis di Malaka (http://nationalgeographic.co.id/berita/2015/07/kisah-raja-muda-dari-demak-yang-menantang-portugis) dan serangan pertama tahun 1512-1513 adalah gabungan dari Pasukan Demak dan Pasukan Palembang. Kisah ini memunculkan sebuah nama Pangeran Sido Ing Lautan yang menjadi misteri karena banyaknya versi cerita tentangnya. Sebuah versi mengatakan bahwa dia adalah kerabat Raden Patah yang sudah bersama sejak dari Palembang. Ketika Demak merencanakan menyerang Malaka 1512, Pangeran Sido Ing Lautan diperintahkan ke Palembang untuk memobilisasi pasukan dan kemudian bergabung dengan Pasukan Demak yang dipimpin Patih Unus. Dalam pertempuran di Malaka tersebut Sang Pangeran gugur sementara Patih Unus mundur kembali ke Demak. Sejak itulah namanya dikenal sebagai Pangeran Sido Ing Lautan sementara Patih Unus mendapat gelar Pangeran Sabrang Lor.

2.       Ki Gede Ing Suro (1547 – 1572)
Setelah masa “interregnum”selama 32 tahun. Datanglah anak dari Pangeran Sido Ing Lautan yang saat ayahnya berangkat menyerang Portugis di Malaka masih berusia kanak-kanak.  Ki Gede Ing Suro  datang bersama 24 bangsawan Demak lainnya yang hijrah ke Palembang kembali ke tanah leluhurnya, mendarat di Palembang tahun 1547. Pada tahun 1550 Ki Gede Ing Suro di nobatkan menjadi Raja di Kerajaan Palembang yang diakui oleh Kerajaan Demak yang saat itu sudah pindah ke Pajang. Berkuasa selama 26 tahun, dalam versi lain 22 tahun dan karena tidak memiliki anak, kekuasaan selanjutnya dipegang oleh adiknya Ki Gede Ing Suro Muda.


3.       Ki Gede Ing Suro Muda (1572 – 1589)
Raja ini adalah adik dari Ki Gede Ing Suro yang menggantikan kakaknya menjadi raja, saudara perempuannya menikah dengan Ki Gede Ing Ilir yang kemudian melahirkan penerus raja Kerajaan Palembang selanjutnya. Pada Masa ini dibangun kompleks Pemakaman Raja-Raja “Gedingsuro”.

4.       Pangeran Kimas Dipati (1589 – 1594)
Anak dari Ki Gede Ing Ilir yang menggantikan pamannya karena tidak memiliki penerus

5.       Pangeran Madi Angsoka (1594 – 1629)
Saudara dari Pangeran Kimas Dipati, pada masa ini terjadi “Perang Kafir” melawan Banten yang disebabkan hasutan Pangeran Mas anak Arya Pangiri cucu Sunan Prawata/Demak yang membuat  cerita bahwa Kerajaan Palembang masih kafir dan belum Islam, cerita ini kemungkinan besar berlatar belakang dendam karena Kerajaan Palembang berasal dari pelarian aliansi Adipati Jipang yang membunuh kakeknya. Mendapat masukan itu, spontan Raja Banten saat itu Maulana Muhammad yang masih muda menjadi panas, semangat dakwah mengislamkan nusantara yang berbaur dengan darah muda membuatnya segera membuat rencana penyerangan bersama dengan Pasukan Lampung yang menjadi tandemnya. Lahirlah motto “Lamun Banten di hareup Lampung di Buri, lamun Banten di Buri Lampung di hareup”. Perang berlangsung berhari-hari di Sungai Musi yang berakhir dengan gugurnya Maulana Muhammad dan mundurnya pasukan Banten kembali ke pangkalannya.

6.       Pangeran Madi Alit (1629 – 1630)
Meninggalnya Pangeran Madi Angsoka, memicu perebutan kekuasaan antara saudaranya dengan menantunya (Pangeran Jambi) yang akhirnya dimenangkan oleh saudaranya Pangeran Madi Alit, Raja ini hanya memerintah 1 tahun saja karena terbunuh dalam suatu perselisihan dalam keraton.

7.       Pangeran Made Soka / Raden Aria (1630 – 1636)
Menggantikan saudaranya Pangeran Made Alit, disebut juga Pangeran Sido Ing Puro karena meninggal didalam Pura.

8.       Pangeran Sido ing Kenayan (1636 – 1652)
Menggantikan saudaranya, istri atau Sang Permaisuri sangat terkenal pada masyarakat Palembang yang disebut Ratu Sinuhun, Sang Ratu membuat sebuah karya ketatanegaraan yang sangat terkenal disebut “Undang-undang Simbur Cahaya”

9.       Pangeran Sido Ing Pasarean (1652 – 1653)
Pangeran Sido Ing Kenayan wafat tidak meninggalkan keturunan, yang menggantikannya justru adalah saudara  Ratu Sinuhun yaitu Pangeran Ali Seda Ing Pasarean yang masih keponakannya sendiri. Ratu Sinuhun dan Pangeran Pasarean adalah anak Nyi Gede Ing Pembayun saudara dari Pangeran Sido Ing Kenayan yang kawin dengan Tumenggung Mancanegara dari Cirebon. Dengan naiknya Pangeran Sido Ing Pasarean menjadi Raja Palembang maka beralihlah nasab Raja-raja Palembang selanjutnya dari Demak ke Cirebon.

10.   Pangeran Sido Ing Rajek (1653 – 1660)  
Raja ini memerintah hanya setahun dan meninggal mendadak ditempat tidur, digantikan oleh anaknya Pangeran Sido Ing Rajek. Pada masa ini terjadi penyerangan oleh Pasukan Belanda yang membakar kota Palembang (1659) sehingga Raja mundur samapi ke Indera Laya. Pangeran Sido Ing Rajek meninggal di Indera Laya dan kemudian dimakamkan di dusun Saka Tiga.

Kerajaan Palembang Darussalam


1.       Raden Tumenggung/Kimas Endi Ario Kesumo ( 1659 -1706)

Adalah adik dari Pangeran Sido Ing Rajek, kemudian dikenal sebagai Sunan Cinde Walang yang menyatakan melepaskan diri dari wilayah Mataram sehingga Kerajaan Palembang Darussalam berdiri sendiri, Gelar lengkapnya adalah Sultan Abdurrahman Khalifatul Mukminin Sayyidul Imam. Pada masa ini didirikan Keraton Beringin janggut dan Kompleks Pemakaman Raja Cinde Walang.

2.       Sultan Muhammad Mansyur (1706 – 1714)
Nama panjangnya Sultan Muhammad Mansyur Jayo Ing Lago adalah anak dari Sultan Abdurrahman. Pada masa ini pemerintahan sudah mulai mendapat gangguan dari VOC/Belanda.

3.       Sultan Komaruddin/Raden Uju (1714 – 1724)
Menggantikan kakaknya menjadi raja selama 10 tahun

4.       Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo (1724 – 1758)
Anak dari Sultan Muhammad Mansyur. Pada masa ini dibangun Keraton Kuto Batu atau Kuto Lamo pada tahun 1737. Dibangun pula Kompleks Pemakaman Sultan Kawah Tengkurep pada masa ini.

5.       Sultan Ahmad Najamuddin Adi Kesumo (1758 – 1776)
Anak dari Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo

6.       Sultan Muhammad Bahauddin ( 1776 – 1803)
Anak dari Sultan Ahmad Najamuddin Adi Kesumo Pada masa ini dibangun Keraton Kuto Besak pada tahun 1791 – 1797 yang langsung ditempati Sultan begitu selesai, sementara Keraton Kuto Batu ditempati Putra Mahkota Sultan Mahmud Badaruddin II yang saat itu bergelar Pangeran Ratu.

7.       Sultan Mahmud Badaruddin II/Susuhunan Mahmud Badaruddin (1803 – 1812)
Anak dari Sultan Muhammad Bahauddin yang menggantikan ayahnya menjadi Raja di Palembang bukanlah sahabat Belanda, masa pemerintahannya penuh dengan drama perjuangan, bagaimana Sultan sebagai raja berusaha keras untuk mempertahankan bukan hanya kehormatannya tapi juga kedaulatan rakyatnya. Ditengah kekalutan akibat penaklukan Inggris atas Jawa pada tahun 1811, Sultan membantai delapan puluh dua orang (24 nya adalah Belanda)  Garnizun Belanda di Loji Sungai Aur Palembang. Pada tahun 1812 Inggris menyerang dan merampok Keraton Palembang serta mengangkat adiknya Sultan Ahmad Najamuddin menjadi Raja dengan gelar Susuhunan Diyauddin, sang Sultan berhasil melarikan diri, akan tetapi tahun 1813 dia menyerah dan kembali ke Palembang menjadi Raja kembali sampai Rafless menolak ketetapan tersebut dan kembali mengangkat adiknya menjadi Raja. Demikianlah campur tangan Inggris dan Belanda dalam pemerintahan Kerajaan Palembang Darussalam yang mengakibatkan ketegangan antara dua bersaudara yang menjadi Raja ini.

8.       Sultan Ahmad Najamuddin I/Susuhunan Diyauddin (1813 – 1818)
Menjadi Raja setelah Ketetapan Residen Palembang atas pengangkatan kembali Sultan Mahmud Badaruddin II  ditolak Raflfes. Memerintah dalam aroma ketegangan karena kakaknya yang seharusnya menjadi Raja masih berada di Palembang. Suasana ini berlangsung sampai tahun 1818 dimana Belanda mengirimkan satu ekspedisi ke Palembang menangkap dan mengasingkan Sultan Ahmad Najamuddin/Susuhunan Diyauddin ke Batavia kemudian ke Cianjur.

9.       Sultan Mahmud Badaruddin II/Susuhunan Mahmud Badaruddin (1818 – 1821)
Penangkapan Sultan Ahmad Najamuddin tidak membuat Kerajaan Palembang takluk, karena disana masih ada Sultan Mahmud badaruddin II yang segera memimpin pemerintahan. Belanda kembali mengirimkan ekspedisi pada tahun 1819 akan tetapi dapat dikalahkan oleh sang Sultan. Pada Tahun 1821 Belanda menghimpun pasukan besar yang terdiri dari 4.000 orang serdadu. Serangan pertama dapat dipatahkan oleh pasukan Palembang, tapi serangan kedua berhasil menembus pertahanan mereka dan Sultan Mahmud Badaruddin II diasingkan ke Ternate. Anak tertua Sultan yang diangkat menjadi Putra Mahkota dengan memakai gelar pamannya Sultan Ahmad Najamuddin II Pangeran Ratu ikut ditangkap Belanda dan diasingkan ke Ternate.

10.   Sultan Ahmad Najamuddin III Prabu Anom (1821 -1825)
Adalah anak dari Susuhunan Diyauddin yang menjadi raja setelah ayah, paman dan sepupunya ditangkap dan diasingkan Belanda. Memimpin pemberontakan pada 29 November 1824 namun akhirnya tertangkap Belanda tanggal 15 Oktober 1825 dan diasingkan ke Banda 19 Oktober 1825 kemudian ke Manado.

11.   Pangeran Kramo Jayo (1825 – 1851)
Pangeran Keramo Jayo menantu Sultan Mahmud Badaruddin II diangkat oleh pemerintah Belanda sebagai Rijksbe-stuurder. Pada tahun 1851, karena diduga mengorganisir pemberontakan di pedalaman, ia ditangkap dan diasingkan ke Probolinggo dan wafat tanggal 5 Mei 1862. Semenjak itu jabatan Rijksbe-stuurder dihapuskan dan jabatan tertinggi orang pribumi hanya demang dan berakhirlah Kejayaan Kerajaan Palembang Darussalam.





Allahu'alam bissawab
Wass
ACT











No comments:

Post a Comment

Sejarah

  Bismillahirrahmanirrahim… Sejarah Sejarah adalah cerita tentang masa lalu, bisa jadi tentang kebaikan atau keburukan, kemegahan atau k...