Assalamualaikum wr wb
Setelah tertahan sekian lama, ditimbang-timbang baik buruknya, akhirnya lepas juga ke dunia maya, selamat menikmati, mohon maaf bagi yang tidak berkenan.............
Love - Cinta
Rasa-rasanya sangat sulit mendefinisikan kata ini,
terlalu banyak faktor yang mempengaruhi, terlalu banyak kewenangan yang
mengangkanginya, terlalu banyak hal yang membuat dia tersisih bahkan
tercampakkan, yang membuat keberadaannya menjadi tiada yang membuat
kehadirannya menjadi sirna, pupus dalam belantara syahwat dan nafsu manusia,
menghilang diantara kecongkakan dan kesombongan hewani.
Bila hari ini aku menulis tentang cinta, maka
jangan berharap ada erotisme disana, jangan menunggu cerita antara dada dan
paha, tidak…. Bukan dan bukan itu, aku akan bercerita tentang sisi lain dari
cinta, tentang betapa agungnya, tentang betapa indahnya, tentang betapa bahagia
mereka yang mendapatkan dan memilikinya.
Cinta adalah keagungan Ilahiah, dia menetes dari
taman-taman surgawi (raudhatun Jannah), dia mengalir dari khazanah Ar-rahman
dan Ar-rahim. Cinta tercipta saat Sang Raja berkehendak dengan Maha
berkehendaknya sehingga terciptalah Nur Muhammad, lalu dengan Nur Muhammad
terciptalah Kalam yang dengannya Allah menciptakan Lauhul Mahfuz lalu alam
semesta.
Allah Ta’ala kemudian memberikan gambaran tentang
bagaimana mencintai dalam Hadist Qudsi sebagai berikut :
“Bila diantara hambaku gemar beribadah Sunnah, maka
Aku mencintainya, dan bila Aku mencintainya, maka bila dia melihat Aku menjadi
matanya, bila dia memegang Aku menjadi tangannya, bila dia berjalan Aku menjadi
kakinya…..”
Mungkin redaksi hadistnya tidak persis seperti itu
tapi itulah kira2 isinya, lihatlah betapa Zat yang Maha Agung, Yang Maha
Tinggi, Raja Diraja, menurunkan derajatnya sehingga mencapai kerendahan manusia
hanya karena Cinta, sungguh betapa dahsyatnya….asyadu..(lebih dahsyat dari
itu).
Manifestasi cinta di atas muka bumi ini kemudian
berpendar, menyebar, mengisi ruang-ruang dialam semesta, menyentuh menyapa
semua makhluk ciptaan Allah sehingga Induk harimau mengangkat cakarnya dari
anaknya.
Cinta
adalah keagungan dari sebuah rasa yang sedemikian indahnya sehingga Allah
Ta’ala menggunakannya dalam koneksitas Pencipta dan Hamba. Getaran rasa cinta
inilah yang kemudian berbuah tindakan yang disebut kasih berselimutkan rasa
generasi ke 2 dari cinta yang bernama sayang.
Dalam
penetrasinya pada qalbu manusia kemudian cinta melakukan splitsing/pembelahan
diri demi menjangkau kategori-kategori yang sudah menjadi Qada/Ketentuan
Ilahiah akan tetapi tidak mengurangi maknanya hanya berbeda-beda dalam
aplikasinya. (lhooo.. katanya cinta tak mungkin terbagi…??? Tar..jangan protes
dulu)
Derajat
tertinggi disemaikan oleh Cinta kepada Rabbul Jalil, sang maha pencipta dan
penguasa alam semesta. Diperlukan upaya yang luar biasa untuk merasakan derajat
ini, usaha yang terus menerus ditopang dengan ketangguhan fisik untuk menembus
lapisan-lapisan dalam pencapaiannya.
Derajat
kedua disemaikan oleh Cinta kepada Rasulullah saw, sang Kekasih Allah manusia
tersuci dan ruh teragung yang pernah hadir dibelantara bumi ini. Sebagaimana
hal diatas pada derajat ini diperlukan upaya dan kepatuhan atas sunnahnya,
risalah yang dibawanya dan copy paste atas akhlak terpujinya. Terdapat hubungan
erat pada derajat ini dengan derajat diatasnya karena pada Hadist Qudsi Allah
berfirman : “Barang siapa mencintai Rasulku maka penduduk langit mencintainya
dan bila penduduk langit mencintainya maka Aku mencintainya”.
Pada
kedua derajat diatas diperlukan upaya-upaya dan kesungguhan luar biasa dari
manusia (terutama karena statusnya sebagai hamba) agar dapat meraihnya,
sehingga terlihat bagaikan one way activity, padahal sesungguhnya tidaklah
demikian karena setiap kegiatan ubudiah yang dilakukan hamba maka Allah Ta’ala
meresponnya dengan jangkauan yang berlipat ganda sebagaimana Hadist Qudsi :
“Bila hambaKu mendekatiKu sejengkal maka Aku mendekatinya sehasta dan bila dia
mendekatiKu dengan berjalan maka Aku mendekatinya dengan berlari”
Derajat selanjutnya
disemaikan kepada Makhluk Ciptaan Allah, dalam hal ini yang kita bahas adalah
manusia (naas) yang kemudian terbagi sebagai berikut :
- Cinta Orang tua kepada anak, penuh dengan
limpahan kasih yang berselimut rasa sayang, dihiasi dengan pengorbanan bagaikan
tanpa henti sampai ajal menjemput, makanya ada isitilah “anak tetaplah anak
setua apapun dia”. Sebaliknya cinta sang anak kepada orang tua hampir2 tak
terlihat, terkadang dimasa tua sang anak bahkan menghindarinya sementara orang
tua pun tak pernah berharap apa2 dari sang anak. Situasi paradox ini akan
mencair saat salah satu telah berpulang, jembatan doa dan untaian airmata akan
menjadi buah dari cinta.
- Cinta kepada sahabat, bersifat reciprocal
(timbal balik) terkadang mutualisme (saling melengkapi). Saat ini sudah sangat
jarang terlihat. Cinta jenis ini biasanya berada diwilayah para Wali Allah,
dimana kebutuhan, kekaguman, penghormatan bercampur baur jadi satu dalam
munajat ubudiah pada Allah Ta’ala. Cinta ini dicontohkan oleh Para Sahabat
Rasulullah (Saaditina Abubakri wa Umar wa Utsman wa Ali wa Hasan wa Husein
Radiallahuanhum) serta para Tabii’in. Ada sebuah cerita lokal, sepulang berguru
ke Madinah, pulang lah Syaikh Arsyad Al Banjari dan sahabatnya Syaikh Samad Al
Palembani ke Indonesia. Syaikh Arsyad kembali ke Martapura Kalsel dan Syaikh
Samad pulang ke Palembang Sumsel. Tidak sampai setahun tidak tahan ternyata
kedua sahabat ini berpisah, akhirnya berangkatlah Syaikh Samad menyusul
sahabatnya di Kalimantan Selatan. Berdua mereka menulis begitu banyak buku yang
menjadi acuan pesantren2 di Kalimantan dan Indonesia.
- Cinta laki-laki dan wanita, bergandeng
dengan fitrah manusia yang berpasang-pasangan terkadang dimulai dengan lontaran
syahwat mengenai bentuk dan rupa, kemudian berputar pada logika tentang materi,
baik itu harta, keturunan dan lainnya. Sebagian besar dari kita terkadang tidak
pernah maju, hanya berputar putar pada syahwat dan logika itu saja sehingga
begitu keduanya sudah tak begitu penting di masa tua, yang mereka sebut cinta
itupun memudar. Tidak banyak yang memahami bahwa perasaan suka kepada lain
jenis saat mereka remaja sesungguhnya merupakan percikan rasa cinta yang
sesungguhnya, dimana bentuk dan rupa belum menjadi tumpuan dan materi belum
terfikirkan. Hanya saja setelah menerima banyak pengaruh dan informasi duniawi,
cinta yang lugu itupun terabaikan.
Kenapa
kita tertarik dengan lawan jenis? Syaikhuna pernah berkata : “jangan heran
kalau kalian merasa begitu dekat dengan seseorang padahal kalian baru
mengenalnya, sesungguhnya para Ruh berkumpul berkelompok-kelompok pada pohon di
Arsy, mungkin saja orang baru yang kau rasa sangat dekat itu adalah sahabat Ruh
dalam kelompok yang sama dengan Ruh mu”. Dalam dunia modern kita sebut ini
chemistry. Bisa jadi cinta yang berkobar dalam kalbumu dikarenakan rindunya Ruh
pada sahabatnya di alam Ruh sana.
Terdapat
kekeliruan mendasar pada sebagian besar manusia saat ini, sebagian kita
menganggap bahwa cinta merupakan dasar dari suatu perkawinan/pernikahan,
padahal tidaklah harus demikian walaupun jika demikian mungkin akan lebih baik.
Kita ambil contoh pada Rasulullah saw; berawal sebagai pegawai Siti Khadijah
yang sangat jujur dan dipercaya sehingga membuat jatuh hati sang majikan,
sementara Rasulullah saat itu sangat menjaga kepercayaan dari majikannya dalam
melakukan pekerjaan/perdagangan. Saat Siti Khadijah menyampaikan maksud untuk
menikah dengannya, Rasulullah bingung, “bagaimana mungkin, aku tidak punya
apa-apa sementara usia terpaut jauh 15 tahun”. Siti Khadijah hanya mengatakan
“cukup jawab engkau bersedia atau tidak, selebihnya biar menjadi urusanku”.
Demikianlah bila kita cermati dimanakah “cinta” ? Jawabnya saat itu tidak ada,
cinta itu bersemi dan menggelora setelah mereka berumah tangga, Siti Khadijah
menjadi wanita yang menjadi istri, saudara sekaligus partner dari Rasulullah.
Dialah tempat Rasulullah menangis ketakutan saat wahyu pertama turun, usapannya
pada kepala Rasulullah menghentikan gemetar Rasulullah dalam selimutnya saat
turun ayat “Yaa Ayyuhal Mudatstsir”. Demikan besar cinta yang terakumulasi
dalam kehidupan mereka sehingga saat wafatnya Siti Khadijah Al Kubro,
Rasulullah menetapkan sebagai tahun duka cita. Hal ini diakui oleh istri-istri
Rasulullah setelah itu, baik Siti Aisyah, Hafsah, Zainab dan Ummu Salamah mengakui bahwa tidak ada cinta sebesar cinta Rasulullah dan Siti Khadijah Al
Kubro. Pengorbanannya, kesabarannya tak ada tanding, sampai suatu saat Jibril
as turun dan berkata kepada Rasulullah “Yaa Rasulullah, sampaikan kepada
istrimu Khadijah bahwa Allah menyampaikan salam, dan baginya telah disiapkan
sebuah rumah disurga dimana tak ada lagi keluh kesah”. Luar biasa, Allah Ta’ala
menyampaikan salam. Manusia mana yang bisa mendapatkan kehormatan setinggi itu.
Dan itu semua karena cintanya, no reserve.
Lalu
bagaimana dengan isteri Rasulullah yang lain? Mereka cukup puas mendapatkan
kasih sayang dari Rasulullah. Ini juga penegasan bahwa perkawinan tidak selalu
berdasarkan cinta, Siti Aisyah menjadi isteri karena dia anak Sayyidina
Abubakar as, ini motif politik untuk mempererat ukhuwah para sahabat dimasa
awal. Hafsah adalah anak Sayyidina Umar yang ketika suaminya syahid diambil
sebagai istri, ini juga politis, Zainab yang dicemburui oleh isteri2 lainnya
adalah isteri dari Zaid bin haritsah anak angkat Rasulullah, diambil sebagai
isteri saat suaminya syahid dalam perang. Hampir semua isteri setelah Khadijah
bermotifkan sama (kecuali isteri terakhir – Romawi Mesir karena hadiah). Semua
isteri tersebut sepakat bahwa cinta Rasulullah hanya pada Khadijah al Kubro
Ummul Mukminin.
Bagaimana
dengan kita? Terkadang kita sendiri bingung mencontoh siapa, mengambil definisi
yang mana dan meyakini apa? Seperti disampaikan diatas bahwa perkawinan tidak
harus didasari cinta tapi bila didasari cinta mungkin akan lebih baik.
Terkadang juga kita terburu-buru melihat pria/wanita yang menarik, mendapatkan
respon, kemudian meng-klaim bahwa itulah cinta, atau ada orang yang sangat dan
penuh perhatian pada kita, mendengarkan semua curhat kita dan memberikan semua
yang hal kebetulan kita harapkan, lalu kita menyebut itulah cinta.
Berdasarkan
penjelasan terdahulu dan contoh kisah dari Rasulullah, ternyata cinta itu tidak
berhubungan dengan syahwat dan logika. Sangat tidak logis manakala seorang
janda kaya berdarah bangsawan yang bisa saja kawin dengan bangsawan manapun,
malah memilih pegawainya. Ada getaran yang tak dapat ditolaknya, getaran yang
membuang semua teori dari logikanya. Getaran yang sama mungkin juga dirasakan
Rasulullah, akan tetapi logikanya menolaknya untuk beberapa lama, sampai logika
itu sendiri tak mampu menahan getaran tersebut. Getaran itulah yang menyemaikan
apa yang dinamakan cinta yang kemudian menjadi nafas dari perkawinan mereka.
Mengenai syahwat, come-on…. Jarak mereka 15 tahun, mungkin kalau Rasulullah mau
yang bohai dan muda saat itu juga banyak.
Jelas
sudah bahwa cinta itu ternyata anti-logika,
kebahagiaan orang yang dicintai lebih utama dari kebahagiaannya, no reserve.
Tak perduli apa yang terjadinya dengan dirinya, karena kebahagiaan orang yang
dicintai sudah merupakan anugerah yang luar biasa.
Cinta pada Derajat 1 dan 2 kita sebut Cinta Ukhrowi, sementara Cinta Duniawi untuk menunjukkan cinta selain itu. Sangat mudah untuk mendeteksi
apakah cinta ukhrowi tertanam pada diri kita, getarannya sangat terasa dan
memiliki jenjang yang sangat banyak, terutama pada menuju cinta ilahi. Beberapa
contoh tentang rasa dalam cinta ilahi adalah sebagai berikut :
1. Bergetar dadanya saat mendengar azan,
“panggilan sang kekasih”
2. Mengalir airmatanya saat mengakhiri tasyahud
dalam sholat, “berpisah dengan kekasih”
3. Rasa sesal luar biasa saat tertinggal
sholat walaupun dapat mengqodonya
Demikianlah sangat
banyak yang lain dan mungkin berbeda-beda rasa bagi tiap orang akan tetapi
intinya tetap satu Rasa Cinta. Rasa cinta yang menggebu-gebu menyulut
kegembiraan saat berjumpa (sholat), kerinduan yang mengguncang (haji),
kegigihan untuk berbagi (zakat/sedekah) dan keberharapan yang tak pernah putus
(puasa).
Allahu’alam
bissawab
Barakalllahu li
walakum
Wassalamualaikum wr wb
ACT