Thursday, September 28, 2017

Keyakinan (Faith)

Bismillahirrahmanirrahim
Assalamualaikum wr wb..

Sebuah tulisan tertunda dan terlantar sekian lama, baru tertulis separuh jalan dan terhenti entah karena apa, akhirnya dengan sisa kemalasan yang ada, dipaksakanlah diri untuk menuntaskannya, alhamdulillah..... semoga berkenan....

Faith – Keyakinan

Tulisan tentang keyakinan ini dimulai dengan cerita atau drama yang terjadi saat Pilkada DKI beberapa waktu yang lalu, dimana selama berbulan-bulan mata, telinga dan otak kita dijejali dengan kata-kata penistaan. Berawal dari seorang cagub non-muslim yang mengutip ayat Alquran saat berbicara didepan umum. Bagaikan menyambut umpan matang dari pemain sayap suatu kesebelasan, begitu banyak pemain yang secara tiba-tiba menjadi striker/penyerang, serombongan pemain belakang mulai dari center back, bek kiri dan bek kanan, gelandang kiri dan gelandang kanan, bahkan sampai kiperpun ikut maju meramaikan kotak penalty, semua merasa menjadi striker.

Ada apa ini dan apa yang terjadi? Fenomena ini kemudian bergulir di dunia debat, mulai dari debat dunia maya, dunia sandiwara sampai dunia nyata. Semua yang merasa tahu, mulai dari yang tahu sedikit, tahu banyak, tahu bulat sampe yang sebenernya gak tahu apa-apa ikut nimbrung bicara dan pada dasarnya semua tidak menjernihkan bahkan memperkeruh suasana. Rombongan yang ngerasa ngerti politik berteriak “ini soal PILKADA!!”, kemudian yang ngerasa ngerti soal agama menjawab “Ini soal IMAN” dan yang gak ngerti dua-duanya malah akhirnya mahfum bahwa PILKADA ternyata bukan soal IMAN. Kenapa demikian? Karena gak nyambung, wong yang satu ngomong apa… yang lain ngomong apa.

Mari kita coba untuk kupas persoalan ini dengan hati yang lapang dan ilmu yang seadanya, lhooo..? Karena kalau ilmu kita sudah terlalu tinggi urusan kayak gini cuma bikin mangkel dan geregetan yang pada akhirnya hanya akan menimbulkan hil-hil yang mustahal dan membuat lahan penistaan baru.

Masalah PILKADA, benarkah demikian?.. Dari timing/waktu kejadian/tempus delicti (lhoooo…..) sangat mungkin, karena yang berbicara didepan massa adalah salah satu calon yang ikut pilkada, walaupun pembicaraannya tidak berhubungan dengan PILKADA tapi kesalahannya dapat dijadikan sebagai kuda troya oleh lawannya dalam PILKADA. Dengan segala macam anomaly dan sustainable pressure akhirnya kita semua tahu seperti apa endingnya.

Masalah IMAN, yang jadi pertanyaan IMAN siapa?.. yang berbicara, yang menonton, yang mendengar atau yang mendengar dari orang lain?... mungkin anda sudah bisa memprediksi jawabannya, monggo mas… Urusan yang satu ini sangat sensitif, karena secara teoritis logika diletakkan dibelakang sehingga kalau dijadikan debat hanya akan membuat urat-urat leher jadi tegang (makanya Pak Kyai ngelarang debat soal agama). Iman bersanding apik dengan yang namanya Keyakinan, yang satu merupakan selimut dari yang satunya dan itu kata orang pinter keyakinan itu harganya muahaalllll.

Saking sensitifnya masalah ini, kita sudah gak perduli lagi bahwa menafsirkan Alquran itu adalah haknya Mufasir dengan seabreg persyaratannya. Kita sudah gak mau tahu bahwa Rasulullah saw itu sangat pemaaf dan sangat bijak dan sangat santun dan sangat arif (silahkan membaca lagi cerita/sejarah dalam Sirah Nabawiah atau Biografi Baginda yang ditulis oleh Muhammad Husein Haikal ataupun Karen Amstrong). Anehnya saya gak nemu contoh yang maki-maki orang, wong dilempar batu aja malah didoain selamat yang ngelempar. Terus kita niru siapa??? Keyakinan yang mana???

Terlalu panjang nih Mukadimahnya, malah ngawur… Baiklah, keyakinan atau faith atau apapun namanya adalah sesuatu yang tidak kasat mata, tidak terlihat akan tetapi akan melandasi dan mewarnai setiap gerak dan tingkah laku manusia. Khusus untuk orang Islam keyakinan itu dipoles dan di install oleh yang namanya Rukun Islam, kemudian di elaborasikan dan di ejawantahkan oleh yang namanya Rukun Iman, jelas !!!. Pasti ga jelas, wong saya aja ribed.

Intinya begini, anda dipastikan belum memiliki identitas keyakinan yang jelas bilamana anda tidak paham soal Syahadat, tapi anda tetap Islam kalau sudah melafazkan Syahadat. Sebagaimana pada tulisan terdahulu tentang Syahadat, kita telah mahfum bahwa Syahadat adalah sebuah gerbang atau “gate” yang merupakan “starting point” mengenai kapan seseorang diakui atau resmi menjadi seorang Muslim, konotasi ini tentulah lebih pas bilamana kita pakaikan pada kondisi seorang Muallaf. Bagaimana dengan “Mukallaf” atau orang yang lahir dari kedua orang tua yang Muslim? Bagi Mukallaf indentitas itu melekat secara otomatis saat dia lahir sebagaimana azaz “ius sanguinis” pada system kewarganegaraan.

Kembali pada keyakinan, bahwasanya syahadat selain sebagai gerbang identitas juga merupakan gerbang keyakinan. Memahami dengan baik tentang apa itu Syahadat akan menjadi pendorong aktif/”booster” saat melakukan rangkaian ibadah yang terdapat dalam Rukun Islam, dan tidak hanya itu. Pemahaman Syahadat yang mumpuni akan membimbing seseorang dalam mengaplikasikan apa yang terdapat dalam Rukun Iman secara an sich.

Supaya lebih jelas, kita akan lihat pada diagram dibawah ini
 

Dari diagram diatas, seyogyanya dapat kita paham mengapa Syahadat disebut sebagai Gerbang Keyakinan, akan sulit kita memahami bila tidak menggunakan alat peraga seperti diagram diatas. Nah sekarang mungkin baru dapat kita pahami betapa pentingnya Syahadat dan bahwasanya Syahadat bukanlah sebuah “lipsing” atau kata-kata tanpa makna. Tanpa memahami Syahadat niscaya untaian peribadatan yang dilakukan pada Rukun Islam menjadi hampa tak bermakna dan tanpa memahami Syahadat niscaya Rukun Iman yang tanpa wujud itu menjadi sesuatu yang absurd saja.

Allahu'alam bissawab
Wassalam

ACT

Monday, September 4, 2017

Love (the droplets of God's Majesty)

Assalamualaikum wr wb

Setelah tertahan sekian lama, ditimbang-timbang baik buruknya, akhirnya lepas juga ke dunia maya, selamat menikmati, mohon maaf bagi yang tidak berkenan.............

Love - Cinta


Rasa-rasanya sangat sulit mendefinisikan kata ini, terlalu banyak faktor yang mempengaruhi, terlalu banyak kewenangan yang mengangkanginya, terlalu banyak hal yang membuat dia tersisih bahkan tercampakkan, yang membuat keberadaannya menjadi tiada yang membuat kehadirannya menjadi sirna, pupus dalam belantara syahwat dan nafsu manusia, menghilang diantara kecongkakan dan kesombongan hewani.
Bila hari ini aku menulis tentang cinta, maka jangan berharap ada erotisme disana, jangan menunggu cerita antara dada dan paha, tidak…. Bukan dan bukan itu, aku akan bercerita tentang sisi lain dari cinta, tentang betapa agungnya, tentang betapa indahnya, tentang betapa bahagia mereka yang mendapatkan dan memilikinya.
Cinta adalah keagungan Ilahiah, dia menetes dari taman-taman surgawi (raudhatun Jannah), dia mengalir dari khazanah Ar-rahman dan Ar-rahim. Cinta tercipta saat Sang Raja berkehendak dengan Maha berkehendaknya sehingga terciptalah Nur Muhammad, lalu dengan Nur Muhammad terciptalah Kalam yang dengannya Allah menciptakan Lauhul Mahfuz lalu alam semesta.
Allah Ta’ala kemudian memberikan gambaran tentang bagaimana mencintai dalam Hadist Qudsi sebagai berikut :
“Bila diantara hambaku gemar beribadah Sunnah, maka Aku mencintainya, dan bila Aku mencintainya, maka bila dia melihat Aku menjadi matanya, bila dia memegang Aku menjadi tangannya, bila dia berjalan Aku menjadi kakinya…..”
Mungkin redaksi hadistnya tidak persis seperti itu tapi itulah kira2 isinya, lihatlah betapa Zat yang Maha Agung, Yang Maha Tinggi, Raja Diraja, menurunkan derajatnya sehingga mencapai kerendahan manusia hanya karena Cinta, sungguh betapa dahsyatnya….asyadu..(lebih dahsyat dari itu).
Manifestasi cinta di atas muka bumi ini kemudian berpendar, menyebar, mengisi ruang-ruang dialam semesta, menyentuh menyapa semua makhluk ciptaan Allah sehingga Induk harimau mengangkat cakarnya dari anaknya.
Cinta adalah keagungan dari sebuah rasa yang sedemikian indahnya sehingga Allah Ta’ala menggunakannya dalam koneksitas Pencipta dan Hamba. Getaran rasa cinta inilah yang kemudian berbuah tindakan yang disebut kasih berselimutkan rasa generasi ke 2 dari cinta yang bernama sayang.
Dalam penetrasinya pada qalbu manusia kemudian cinta melakukan splitsing/pembelahan diri demi menjangkau kategori-kategori yang sudah menjadi Qada/Ketentuan Ilahiah akan tetapi tidak mengurangi maknanya hanya berbeda-beda dalam aplikasinya. (lhooo.. katanya cinta tak mungkin terbagi…??? Tar..jangan protes dulu)
Derajat tertinggi disemaikan oleh Cinta kepada Rabbul Jalil, sang maha pencipta dan penguasa alam semesta. Diperlukan upaya yang luar biasa untuk merasakan derajat ini, usaha yang terus menerus ditopang dengan ketangguhan fisik untuk menembus lapisan-lapisan dalam pencapaiannya.
Derajat kedua disemaikan oleh Cinta kepada Rasulullah saw, sang Kekasih Allah manusia tersuci dan ruh teragung yang pernah hadir dibelantara bumi ini. Sebagaimana hal diatas pada derajat ini diperlukan upaya dan kepatuhan atas sunnahnya, risalah yang dibawanya dan copy paste atas akhlak terpujinya. Terdapat hubungan erat pada derajat ini dengan derajat diatasnya karena pada Hadist Qudsi Allah berfirman : “Barang siapa mencintai Rasulku maka penduduk langit mencintainya dan bila penduduk langit mencintainya maka Aku mencintainya”.
Pada kedua derajat diatas diperlukan upaya-upaya dan kesungguhan luar biasa dari manusia (terutama karena statusnya sebagai hamba) agar dapat meraihnya, sehingga terlihat bagaikan one way activity, padahal sesungguhnya tidaklah demikian karena setiap kegiatan ubudiah yang dilakukan hamba maka Allah Ta’ala meresponnya dengan jangkauan yang berlipat ganda sebagaimana Hadist Qudsi : “Bila hambaKu mendekatiKu sejengkal maka Aku mendekatinya sehasta dan bila dia mendekatiKu dengan berjalan maka Aku mendekatinya dengan berlari”
Derajat selanjutnya disemaikan kepada Makhluk Ciptaan Allah, dalam hal ini yang kita bahas adalah manusia (naas) yang kemudian terbagi sebagai berikut :
- Cinta Orang tua kepada anak, penuh dengan limpahan kasih yang berselimut rasa sayang, dihiasi dengan pengorbanan bagaikan tanpa henti sampai ajal menjemput, makanya ada isitilah “anak tetaplah anak setua apapun dia”. Sebaliknya cinta sang anak kepada orang tua hampir2 tak terlihat, terkadang dimasa tua sang anak bahkan menghindarinya sementara orang tua pun tak pernah berharap apa2 dari sang anak. Situasi paradox ini akan mencair saat salah satu telah berpulang, jembatan doa dan untaian airmata akan menjadi buah dari cinta.
- Cinta kepada sahabat, bersifat reciprocal (timbal balik) terkadang mutualisme (saling melengkapi). Saat ini sudah sangat jarang terlihat. Cinta jenis ini biasanya berada diwilayah para Wali Allah, dimana kebutuhan, kekaguman, penghormatan bercampur baur jadi satu dalam munajat ubudiah pada Allah Ta’ala. Cinta ini dicontohkan oleh Para Sahabat Rasulullah (Saaditina Abubakri wa Umar wa Utsman wa Ali wa Hasan wa Husein Radiallahuanhum) serta para Tabii’in. Ada sebuah cerita lokal, sepulang berguru ke Madinah, pulang lah Syaikh Arsyad Al Banjari dan sahabatnya Syaikh Samad Al Palembani ke Indonesia. Syaikh Arsyad kembali ke Martapura Kalsel dan Syaikh Samad pulang ke Palembang Sumsel. Tidak sampai setahun tidak tahan ternyata kedua sahabat ini berpisah, akhirnya berangkatlah Syaikh Samad menyusul sahabatnya di Kalimantan Selatan. Berdua mereka menulis begitu banyak buku yang menjadi acuan pesantren2 di Kalimantan dan Indonesia.
- Cinta laki-laki dan wanita, bergandeng dengan fitrah manusia yang berpasang-pasangan terkadang dimulai dengan lontaran syahwat mengenai bentuk dan rupa, kemudian berputar pada logika tentang materi, baik itu harta, keturunan dan lainnya. Sebagian besar dari kita terkadang tidak pernah maju, hanya berputar putar pada syahwat dan logika itu saja sehingga begitu keduanya sudah tak begitu penting di masa tua, yang mereka sebut cinta itupun memudar. Tidak banyak yang memahami bahwa perasaan suka kepada lain jenis saat mereka remaja sesungguhnya merupakan percikan rasa cinta yang sesungguhnya, dimana bentuk dan rupa belum menjadi tumpuan dan materi belum terfikirkan. Hanya saja setelah menerima banyak pengaruh dan informasi duniawi, cinta yang lugu itupun terabaikan.
Kenapa kita tertarik dengan lawan jenis? Syaikhuna pernah berkata : “jangan heran kalau kalian merasa begitu dekat dengan seseorang padahal kalian baru mengenalnya, sesungguhnya para Ruh berkumpul berkelompok-kelompok pada pohon di Arsy, mungkin saja orang baru yang kau rasa sangat dekat itu adalah sahabat Ruh dalam kelompok yang sama dengan Ruh mu”. Dalam dunia modern kita sebut ini chemistry. Bisa jadi cinta yang berkobar dalam kalbumu dikarenakan rindunya Ruh pada sahabatnya di alam Ruh sana.
Terdapat kekeliruan mendasar pada sebagian besar manusia saat ini, sebagian kita menganggap bahwa cinta merupakan dasar dari suatu perkawinan/pernikahan, padahal tidaklah harus demikian walaupun jika demikian mungkin akan lebih baik. Kita ambil contoh pada Rasulullah saw; berawal sebagai pegawai Siti Khadijah yang sangat jujur dan dipercaya sehingga membuat jatuh hati sang majikan, sementara Rasulullah saat itu sangat menjaga kepercayaan dari majikannya dalam melakukan pekerjaan/perdagangan. Saat Siti Khadijah menyampaikan maksud untuk menikah dengannya, Rasulullah bingung, “bagaimana mungkin, aku tidak punya apa-apa sementara usia terpaut jauh 15 tahun”. Siti Khadijah hanya mengatakan “cukup jawab engkau bersedia atau tidak, selebihnya biar menjadi urusanku”. Demikianlah bila kita cermati dimanakah “cinta” ? Jawabnya saat itu tidak ada, cinta itu bersemi dan menggelora setelah mereka berumah tangga, Siti Khadijah menjadi wanita yang menjadi istri, saudara sekaligus partner dari Rasulullah. Dialah tempat Rasulullah menangis ketakutan saat wahyu pertama turun, usapannya pada kepala Rasulullah menghentikan gemetar Rasulullah dalam selimutnya saat turun ayat “Yaa Ayyuhal Mudatstsir”. Demikan besar cinta yang terakumulasi dalam kehidupan mereka sehingga saat wafatnya Siti Khadijah Al Kubro, Rasulullah menetapkan sebagai tahun duka cita. Hal ini diakui oleh istri-istri Rasulullah setelah itu, baik Siti Aisyah, Hafsah, Zainab dan Ummu Salamah mengakui bahwa tidak ada cinta sebesar cinta Rasulullah dan Siti Khadijah Al Kubro. Pengorbanannya, kesabarannya tak ada tanding, sampai suatu saat Jibril as turun dan berkata kepada Rasulullah “Yaa Rasulullah, sampaikan kepada istrimu Khadijah bahwa Allah menyampaikan salam, dan baginya telah disiapkan sebuah rumah disurga dimana tak ada lagi keluh kesah”. Luar biasa, Allah Ta’ala menyampaikan salam. Manusia mana yang bisa mendapatkan kehormatan setinggi itu. Dan itu semua karena cintanya, no reserve.
Lalu bagaimana dengan isteri Rasulullah yang lain? Mereka cukup puas mendapatkan kasih sayang dari Rasulullah. Ini juga penegasan bahwa perkawinan tidak selalu berdasarkan cinta, Siti Aisyah menjadi isteri karena dia anak Sayyidina Abubakar as, ini motif politik untuk mempererat ukhuwah para sahabat dimasa awal. Hafsah adalah anak Sayyidina Umar yang ketika suaminya syahid diambil sebagai istri, ini juga politis, Zainab yang dicemburui oleh isteri2 lainnya adalah isteri dari Zaid bin haritsah anak angkat Rasulullah, diambil sebagai isteri saat suaminya syahid dalam perang. Hampir semua isteri setelah Khadijah bermotifkan sama (kecuali isteri terakhir – Romawi Mesir karena hadiah). Semua isteri tersebut sepakat bahwa cinta Rasulullah hanya pada Khadijah al Kubro Ummul Mukminin.
Bagaimana dengan kita? Terkadang kita sendiri bingung mencontoh siapa, mengambil definisi yang mana dan meyakini apa? Seperti disampaikan diatas bahwa perkawinan tidak harus didasari cinta tapi bila didasari cinta mungkin akan lebih baik. Terkadang juga kita terburu-buru melihat pria/wanita yang menarik, mendapatkan respon, kemudian meng-klaim bahwa itulah cinta, atau ada orang yang sangat dan penuh perhatian pada kita, mendengarkan semua curhat kita dan memberikan semua yang hal kebetulan kita harapkan, lalu kita menyebut itulah cinta.
Berdasarkan penjelasan terdahulu dan contoh kisah dari Rasulullah, ternyata cinta itu tidak berhubungan dengan syahwat dan logika. Sangat tidak logis manakala seorang janda kaya berdarah bangsawan yang bisa saja kawin dengan bangsawan manapun, malah memilih pegawainya. Ada getaran yang tak dapat ditolaknya, getaran yang membuang semua teori dari logikanya. Getaran yang sama mungkin juga dirasakan Rasulullah, akan tetapi logikanya menolaknya untuk beberapa lama, sampai logika itu sendiri tak mampu menahan getaran tersebut. Getaran itulah yang menyemaikan apa yang dinamakan cinta yang kemudian menjadi nafas dari perkawinan mereka. Mengenai syahwat, come-on…. Jarak mereka 15 tahun, mungkin kalau Rasulullah mau yang bohai dan muda saat itu juga banyak.
Jelas sudah bahwa cinta itu ternyata anti-logika, kebahagiaan orang yang dicintai lebih utama dari kebahagiaannya, no reserve. Tak perduli apa yang terjadinya dengan dirinya, karena kebahagiaan orang yang dicintai sudah merupakan anugerah yang luar biasa.
Cinta pada Derajat 1 dan 2 kita sebut Cinta Ukhrowi, sementara Cinta Duniawi untuk menunjukkan cinta selain itu. Sangat mudah untuk mendeteksi apakah cinta ukhrowi tertanam pada diri kita, getarannya sangat terasa dan memiliki jenjang yang sangat banyak, terutama pada menuju cinta ilahi. Beberapa contoh tentang rasa dalam cinta ilahi adalah sebagai berikut :
1. Bergetar dadanya saat mendengar azan, “panggilan sang kekasih”
2. Mengalir airmatanya saat mengakhiri tasyahud dalam sholat, “berpisah dengan kekasih”
3. Rasa sesal luar biasa saat tertinggal sholat walaupun dapat mengqodonya

Demikianlah sangat banyak yang lain dan mungkin berbeda-beda rasa bagi tiap orang akan tetapi intinya tetap satu Rasa Cinta. Rasa cinta yang menggebu-gebu menyulut kegembiraan saat berjumpa (sholat), kerinduan yang mengguncang (haji), kegigihan untuk berbagi (zakat/sedekah) dan keberharapan yang tak pernah putus (puasa).

Allahu’alam bissawab
Barakalllahu li walakum
Wassalamualaikum wr wb


ACT




Sejarah

  Bismillahirrahmanirrahim… Sejarah Sejarah adalah cerita tentang masa lalu, bisa jadi tentang kebaikan atau keburukan, kemegahan atau k...