Assalamualaikum Wr. Wb.
Hasan
Al-Banna punya sebuah majelis taklim. Majelis ilmu itu dilaksanakan di sebuah
masjid pada malam hari. Jama'ah pengajian itu semakin hari semakin membludak
saja. Maklum, tutur kata ustadz muda itu begitu menyentuh jiwa.
Suatu
hari, Hasan Al-Banna merasakan adanya nuansa aneh di majelis taklimnya. Jama'ah
pengajiannya duduk berkelompok. Ada dua kelompok besar. Masing-masing mengambil
jarak. Sebelum lagi Hasan Al-Banna memulai acara taklimnya, tiba-tiba sebuah pertanyaan
mengejutkannya. Sebenarnya nada pertanyaan itu datar saja, tapi hati Hasan
Al-Banna yang begitu peka menangkap sebuah pesan yang besar dalam pertanyaan
itu.
"Bagaiman
pendapat ustadz mengenai tawassul?"
Sang
guru yang ditanya terdiam sejenak. Ditatapnya si penanya. Disapunya satu per
satu hadirin yang menatapnya dengan raut wajah menunggu.
"Wahai
saudaraku," sapa Hasan Al-Banna jernih kepada si penanya. "Saya yakin
engkau tidak hanya bertanya tentang tawasul saja. Engkau juga ingin bertanya
tentang membaca salawat setelah azan, membaca Al Kahfi di hari Jumat, mengucap
kata sayyidina dalam tasyahud, juga tentang membaca Alquran yang pahalanya
ditujukan untuk mayit seseorang."
Jama'ah
majelis taklim itu kaget. Guru mereka bisa membaca isi pikiran mereka. Dan
Hasan Al-Banna memang sengaja mengungkap beberapa masalah khilafiyah yang
sedang mereka ributkan. Masalah itulah yang membuat murid-muridnya duduk
berkelompok-kelompok.
"Ya,
benar. Saya memang ingin jawaban tentang itu semua," ujar si penanya tadi.
Hasan
Al-Banna menatapnya lembut. "Wahai saudaraku, saya ini bukan ulama. Hanya
guru biasa yang hafal sebagian ayat-ayat Alquran, hadits, dan hukum-hukum agama
yang saya baca dari beberapa kitab, lalu saya mengajarkannya kepada kalian.
Jika engkau membawaku keluar dari lingkup itu, berarti kalian telah membuatku
mengalami kesulitan," ungkap Hasan Al-Banna jujur.
"Oleh
karenanya, jika apa yang akan saya katakan dapat memuaskanmu, itulah yang saya
inginkan dan silakan dengarkan. Namun, jika engkau menginginkan jawaban dan
pengetahuan yang lebih luas, maka tanyakanlah kepada selainku. Tanyakan kepada
para ulama yang ahli. Merekalah yang mampu memberikan fatwa kepadamu mengenai
apa yang engkau inginkan itu. Adapun saya, hanya inilah kapasitas keilmuan yang
saya miliki. Allah tidak membebani seorang hamba melainkan sebatas
kesanggupannya," lanjut Hasan Al-Banna.
Rupanya,
ungkapan merendah Hasan Al-Banna itu berhasil mencairkan suasana kaku yang
tercipta di antara hadirin. Mereka tampak lega dengan apa yang dikatakan guru
mereka. Melihatnya, diam-diam Hasan Al-Banna bertahmid kepada Allah swt.
Nalurinya sebagai pendidik tergugah. Ini saat yang tepat untuk memberi
pelajaran yang lebih kepada murid-muridnya.
"Wahai
saudaraku sekalian, saya sebenarnya tahu betul kemana arah pertanyaan tadi.
Kalian ingin tahu saya ini termasuk kelompok Syeikh Musa atau Syeikh Sami.
Ketahuilah, hal ini sama sekali tak bermanfaat bagi kalian. Kalian sudah
tenggelam dalam iklim fitnah selama selama delapan tahun ini. Itu sudah cukup,
" ucap Hasan Al-Banna memecah di keheningan masjid.
"Masalah-masalah
yang kalian perselisihkan sebenarnya sudah diperselisihkan oleh kaum muslimin
selama ratusan tahun lamanya. Dan mereka masih saja berselisih. Meski demikian
Allah swt. tetap ridha apabila kita saling mencintai dan saling menjalin
persatuan. Allah swt. benci apabila kita berselisih dan berpecah belah. Oleh
karena itu, saya berharap, kalian bisa berjanji kepada Allah untuk meninggalkan
persoalanpersoaalan semacam ini sekarang. Lalu kita bersungguh-sungguh untuk
bersama-sama mempelajari dasar-dasar agama dan kaidah-kaidahnya, mengamalkan
anjurananjuran agama yang kita sepakati bersama, serta kita amalkan
kewajiban-kewajiban dan sunah-sunahnya sekaligus. Kita tinggalkan sikap
takalluf (mengada-ada) dan ta'ammuq (terlalu dalam menyelami persoalan) agar
jiwa kita jernih. Dengan begitu, kita semua bisa mempelajari berbagai persoalan
dalam naungan rasa cinta, saling percaya, persatuan, dan keikhlasan. Saya
berharap agar kalian dapat menerima pendapatku ini dan agar hal ini menjadi
suatu janji di antara kita," tutur Hasan Al-Banna panjang dan mendalam.
Semua
terdiam. Tampaknya mereka butuh contoh konkret atas uraian tadi. Hasan Al-Banna
kembali menghentak keheningan itu.
"Siapa
di antara kalian yang bermazhab Hanafi?"
Seseorang
mengacungkan jari.
"Kemari!"
"Siapa
di antara kalian yang bermazhab Syafi'i?"
Satu
orang lagi maju, mendekat ke guru muda itu.
"Saya
akan shalat dan mengimami kedua saudara kita ini," kata Al-Banna kepada
jama'ah majelis taklimnya.
"Apa
yang kamu lakukan saat saya sedang membaca Al-Fatihah?" tanya Hasan
Al-Banna kepada muridnya yang mengaku bermazhab Hanafi.
"Saya
akan diam saja dan tidak membaca apa-apa."
"Saudaraku
yang bermazhab Syafi'i, apa yang kamu lakukan?"
"Saya
tetap harus membaca AlFatihah!" jawabnya tegas.
Hadirin
mendengar jawaban kedua itu. Hasan Al-Banna kembali melemparkan pertanyaan.
"Jika kita telah selesai shalat, bagaimana pendapatmu, wahai saudaraku
yang bermazhab Syafi'i, tentang shalat saudaramu yang bermazhab Hanafi?"
"Shalatnya
batal karena tidak membaca AlFatihah yang merupakan salah satu rukun
shalat."
Hasan
Al-Banna melontarkan pertanyaan yang sama ke murid yang satunya lagi.
"Lalu bagaimana pendapatmu, wahai saudaraku yang bermazhab Hanafi tentang
shalat saudaramu yang bermazhab Syafi'i?"
"Ia
telah melakukan tindakan makruh yang bersifat haram." Mendengar kedua
jawaban itu, Hasan Al-Banna segera mempertajam pertanyaannya. "Apakah
karena alasan itu salah seorang dari kalian mengkafirkan yang lain?"
"Tidak!" jawab keduanya cepat.
Hasan
Al-Banna kemudian berpaling ke seluruh hadirin. "Apakah ada di antara
kalian yang mengkafirkan satu dari mereka karena bacaan Al-Fatihahnya?"
"Tidak,"
kata seluruh jamaah majelis taklim tegas.
"Aduhai,
Maha Suci Allah. Kalian bisa diam dan memaklumi permasalahan seperti ini
padahal ini menyangkut sah atau batalnya shalat. Tapi, mengapa kalian
berselisih tak kunjung usai hanya karena ucapan Allahumma shalli `ala Muhammad
atau Allahumma shalli `ala sayyidina Muhammad dalam tasyahud?"
Jama'ah
majelis taklim itu tercengang. Ya, mengapa mereka bisa terjebak dalam
perselisihan yang tak perlu. Dan logika sederhana guru mereka telah membongkar
tempurung yang menutupi cakrawala berpikir mereka selama ini.
Malam
itu mereka mendapat pelajaran yang sangat berharga dari guru mereka, Hasan
Al-Banna.
by Tedy Ramadanus - FO sabili
Semoga Bermanfaat
Barakallahu li walakum
Wassalamualaikum Wr. Wb
No comments:
Post a Comment